Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut meningkatnya jumlah investasi bodong yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh kesalahan baik dari pihak investor maupun regulator.
Menurutnya, saat ini masih banyak investor yang terjebak dalam perilaku 'ikutan-ikutan', di mana mereka tergoda untuk berinvestasi hanya karena iming-iming keuntungan yang tinggi. Hal ini sering disebut sebagai "FOMO" atau "Fear of Missing Out". Sayangnya, praktik ini dapat menyebabkan investor, terutama generasi muda, mengalami kerugian besar.
"Jadi saya selalu bilang invest smart, artinya Anda kalau investasi mengerti betul apa yang anda invest. Jangan ikut-ikutan orang. Sekarang ada kan produk seperti robot trading yang akhirnya membuat Anda rugi," ujarnya dalam acara Like It, Senin(14/8/2023).
Bahkan, dia menyebut kesalahan tak hanya ada di sisi investor yang mengikuti tren tanpa pemahaman literasi keuangan yang cukup. Namun, dia juga mengatakan kesalahan ada pada regulator yang seharusnya mengedukasi investor tentang produk investasi yang baik dan buruk untuk menghindari risiko seperti ini.
"Maraknya investasi bodong, jadi kesalahannya dimana? Ya, kesalahan di investor namanya karena enggak mengerti, tapi yang kedua kalau denger ceramah dari para pejabat, jangan lupa untuk nyalahin regulatornya juga, kenapa regulator tidak memberi tahu investor mana yang bagus dan jelek," tambahnya.
Adapun, berdasarkan data statistik Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) awal Agustus 2023, menunjukkan bahwa basis investor saat ini di pasar modal didominasi oleh generasi muda yang berusia di bawah 30 tahun yaitu sebesar 57,26 persen dari total investor ritel.
Baca Juga
Tren berpotensi tumbuh lebih besar jika kita mengacu pada proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) yang memprediksi Indonesia akan “menikmati” puncak bonus demografi, yakni penduduk usia produktif (muda) lebih besar ketimbang non produktif pada tahun 2020-2030, dimana jumlah usia produktif pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai 68,01 persen dari total jumlah penduduk.
Data-data tersebut menegaskan potensi investasi pasar keuangan di Indonesia kedepan akan datang dari kalangan generasi muda yang sadar investasi. Kesadaran investasi tersebut perlu diikuti dengan penguatan literasi keuangan dalam rangka mendukung pendalaman pasar keuangan.
Menurut Purbaya sendiri, peningkatan jumlah investor ritel perlu diimbangi dengan penyelarasan pada aspek literasi dan inklusi keuangan. Literasi dan inklusi keuangan perlu diseimbangkan sehingga mampu mendukung pemulihan ekonomi sekaligus menciptakan stabilitas pada sistem keuangan.
"Berdasarkan hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan tahun 2022 dari rekan-rekan Otoritas Jasa Keuangan, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2022, indeks literasi keuangan mencapai angka 49,68 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai angka 85,10 persen. Sementara untuk 2023, kita menargetkan indeks literasi keuangan dapat meningkat menjadi 53 persen dan inklusi keuangan sebesar 88 persen," paparnya.
Dari angka 2022 dan target 2023 tersebut, masih terdapat gap yang perlu diseimbangkan antara inklusi dengan literasi. Pada satu sisi, penetrasi produk dan jasa keuangan telah berkembang cukup pesat, tetapi di sisi lain, pemahaman atas risiko-risiko yang menyertai belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
Dia menyebut, guna mendorong pencapaian target literasi dan inklusi keuangan tersebut, dibutuhkan strategi yang terintegrasi dan intensif serta kerja keras seluruh stakeholders untuk memberikan pemahaman mengenai produk indutri keuangan nasional termasuk aspek pengelolaan risiko produk industri keuangan nasional.
"Jadi nanti, investor harus lebih aktif kalau enggak ngerti, tanya ke regulator. Kalau regulatornya enggak bisa, minta mereka menyiapkan sarana bagi Anda untuk belajar, supaya Anda mengerti betul apa yang Anda investasi," sebutnya.
Selain itu LPS berupaya mengedukasi dan memberikan informasi kepada masyarakat melalui kegiatan dan sosialisasi mengenai peran program penjaminan, dan kebijakan-kebijakan LPS.
"Kami memanfaatkan keberadaan media sosial untuk berinteraksi dan menyebarkan pesan edukasi untuk meningkatkan sentimen positif menabung di bank dan terus mengadakan beragam kegiatan sosialisasi dan edukasi dengan pesan kunci yang disampaikan yakni “Menabung di Bank Aman ada LPS”. jelasnya.
Tak hanya itu, LPS pun terus Berkolaborasi dengan berbagai stakeholders untuk melakukan sosialisasi tentang penjaminan dan perlunya menjaga kepercayaan /terhadap perbankan.
Sebagai salah satu pilar sektor keuangan yang diberikan mandat menjalankan fungsi penjaminan simpanan, LPS kini berupaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
Terbaru, terdapat 105 bank umum dan 1.584 BPR/BPRS yang menjadi bank peserta penjaminan LPS. Dari seluruh bank tersebut, penjaminan yang dilakukan oleh LPS per Juni 2023 mencakup 520,53 juta rekening bank umum atau sekitar 99,94 persen dari total rekening nasabah bank umum dan 15,41 juta rekening BPR/BPRS atau sekitar 99,98 persen dari total rekening nasabah BPR/BPRS.
Tak hanya itu, untuk terus membangun transparansi dan peningkatan literasi keuangan di sektor perbankan, LPS turut mendorong keterbukaan antara bank dan nasabah dalam penghimpunan dana, termasuk dalam pemasaran produk-produk perbankan.
"Bank harus menginformasikan kepada nasabah penyimpan mengenai produk-produk yang tidak dijamin LPS, dan risiko simpanan yang menerima hasil bunga melebihi tingkat bunga penjaminan LPS," tutupnya.