Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asosiasi Dukung Harga Gula Petani Naik Jadi Rp12.500 per Kg

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mendukung penetapan harga gula di tingkat petani sebesar Rp12.500 per kilogram. Apa alasannya?
Gula pasir - Istimewa.
Gula pasir - Istimewa.

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mendukung penetapan harga pembelian gula oleh pemerintah di tingkat petani sebesar Rp12.500 per kilogram (kg). Jika lebih dari itu, pelaku usaha khawatir produksi gula petani akan sulit terserap.

Sekretaris Jenderal AGI, Aris Toharisman, mengatakan bahwa pemerintah dalam hal ini Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengetahui persis kondisi harga gula di tingkat konsumen yang sudah tinggi.

Oleh sebab itu, dia menuturkan harga gula di tingkat petani pun dinaikkan jadi Rp12.500 per kg dari sebelumnya sebesar Rp11.500 per kg.

“Bapanas itu melihat betul kondisi di lapangan, di mana harga gula di pasar tradisional sudah naik, sudah Rp14.000-an. Maka dari itu, harga acuan itu penyesuaian apa yang sudah terjadi di lapangan. Produsen itu sudah membeli sudah di atas Rp12.000-an, hari ini Rp12.300 per kg,” kata Aris kepada Bisnis, Senin (3/7/2023).

Mengutip Panel Harga Bapanas, harga gula curah per hari ini ini rata-rata Rp14.520 per kg secara nasional. Harga paling tinggi di Papua sebesar Rp16.210 per kg dan harga paling rendah di Jawa Timur Rp13.390 per kg.

Aris juga menyoroti pihak petani tebu yang mengusulkan harga pembelian Rp13.500 per kg. Menurut dia, harga sebesar itu kurang realistis. Pasalnya, gula saat ini ditetapkan oleh mekanisme pasar dan pemerintah pun belum bisa menjadi off taker.

“Kalau ini dilepas ke pasar dengan Rp13.000 misalnya, siapa yang mau ngambil? Kecuali ada kunci penyangga sehingga itu bisa berlaku. Jadi menurut saya reasonable lah Rp12.500 itu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Aris memperkirakan harga gula domestik akan terus merangkak naik seiring dengan situasi harga pasar global yang memang sedang tinggi.

“Sekarang raw sugar aja 27 sen per ton. Sebenarnya harga tertinggi selama 12 tahun terakhir. Kita juga mengimpor gula 55 persen dari kebutuhan gula nasional, itu berdampak pada gula konsumsi kita,” tuturnya.

Di samping itu, lanjut Aris, fenomena El Nino yang menyebabkan kekeringan juga bakal berimbas pada produktivitas tebu nasional. Meski saat ini belum terasa, Aris mengatakan pada Agustus diperkirakan sudah mulai terlihat dampaknya.

“Kemarin itu 72 ton rata-rata per hektar [produksinya]. Tahun ini akan di bawahnya. Ini akan berpengaruh jumlah tebu yang digiling. Nanti akan terjadi kekeringan berpengaruh produktivtias. Paling mentok mungkin 70 ton aja rata-rata turunnya, karena bulan ini sudah mulai ditebang kan tebunya,” jelas Aris.

Sebelumnya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menerbitkan Surat Edaran (SE) Badan Pangan Nasional Nomor 159/TS.02.02/K/6/2023 tentang Harga Pembelian Gula Kristal Putih (GKP) di Tingkat Petani.

Dalam SE disebutkan agar pembelian GKP di tingkat petani oleh pelaku usaha gula dilakukan dengan harga paling sedikit Rp12.500 per kilogram (kg).  

Harga pembelian GKP di tingkat petani yang baru ini mengalami peningkatan dibanding ketentuan sebelumnya yang mengacu kepada Perbadan Nomor 11 Tahun 2022 (sebelum rencana perubahan). Harga pembelian di tingkat petani atau produsen naik sebesar Rp1.000 per kg, dari Rp11.500 per kg menjadi Rp12.500 per kg. 

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengatakan, penerbitan SE ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan harga gula dari hulu hingga hilir di tengah musim giling tebu yang sedang berlangsung. Selain itu, ini juga langkah strategis untuk meningkatkan daya saing industri gula nasional secara berkelanjutan.

Arief mengatakan, SE ini memuat pedoman tentang harga pembelian gula kristal putih (GKP) di tingkat petani paling sedikit Rp12.500 per kg. 

Meski begitu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin menuturkan pihaknya berharap kenaikan harga pembelian GKP semurah-murahnya Rp13.500 per kg.

Dia mengatakan harga pembelian yang dipatok Bapanas belum sesuai ongkos produksi petani tebu. Sebab, saat ini terjadi kenaikan baiya produksi dari pupuk non-subsidi, ongkos tenaga kerja dan biaya transportasi.

“Belum sesuai harapan petani. Belum ideal. Tapi ini sudah lumayan dibanding sebelumnya, ada kenaikan Rp1.000. Tetapi secara hitung hitungan biaya produksi belum sesuai. Karena ada kenaikan penggunaan pupuk non subsidi yang menyumbang kenaikan biaya produksi itu 15 persen. Lalu ada kenaikan upah tenaga kerja dan transportasi,” ujar Nur Khabsyin saat dihubungi Bisnis, Senin (3/7/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper