Bisa Picu Inflasi
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat dengan semakin sederhananya rupiah, dapat meningkatkan kredibilitas mata uang Indonesia tersebut di tingkat global.
Di sisi lain, alih-alih melakukan penyederhanaan, terlihat adanya potensi inflasi yang ditimbulkan dari kondisi tersebut. Belum berakhir di situ, Faisal melihat penyederhanaan ini dapat berdampak pada kebingungan dari masyarakat khususnya yang berpendidikan menengah ke bawah.
“Jika tidak dipersiapkan dengan baik atau kurang sosialisasi, bisa berdampak pada inflasi,” ujarnya, dikutip, Sabtu (24/6/2023).
Sementara Ekonom Piter melanjutkan, bahwa setiap kebijakan terdapat cost to pay atau harga yang dibayar, begitu pula dengan redenominasi.
Dalam jangka pendek, penerapan Rp10.000 menjadi Rp1 atau Rp50.000 menjadi Rp50 akan mendorong inflasi yang lebih tinggi akibat adanya efek kejut atau shock di masyarakat, mirip dengan efek penyesuaian harga BBM September tahun lalu. Hal tersebut dibebakan oleh kecenderungan perubahan harga dengan pembulatan ke atas.
“Contoh harga baju Rp58.750, rupiah baru dia akan membulatkan ke Rp59, berarti ada kenaikan harga yang akan mendorong inflasi jangka pendek,” jelasnya.
Secara jangka panjang, bila nanti proses penyederhanaan ini berlangsung dan semua harga sudah disederhanakan, tidak ada lagi kenaikan seperti contoh di atas. Justru dengan rupiah yang kuat stabil, inflasi dapat lebih stabil.
Sementara saat ini, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan sedang menunggu waktu yang tepat untuk menerapkan rupiah baru tersebut.
Pertama, kondisi makro dalam situasi baik. Kedua, stabilitas moneter dan sistem keuangan terjaga, dan ketiga adalah situasi sosial-politik yang kondusif.
Meski ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang bagus, tetapi BI menilai penerapan redenominasi membutuhkan ketepatan momentum sambil tetap memerhatikan kondisi perekonomian global yang kini sedang melambat.
“Demikian juga stabilitas sistem keuangan kita bagus stabil, tetapi ketidakpastian global masih ada, sabar, dan kalau kondisi sosial politiknya tentu pemerintah lebih tahu,” tutur Perry.