Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Gaji ke-13 ASN Hingga Proyek Infrastruktur, Pemerintah Dinilai Sulit Tekan Defisit Fiskal

Upaya pemerintah untuk menekan kembali defisit fiskal di bawah 3 persen dalam RAPBN 2024 diperkirakan sulit tercapai seiring kebijakan gaji 13 ASN hingga PSN.
Presiden Jokowi di Menara Pandang, kawasan IKN, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (23/2/2023) - Humas Setkab/Agung.
Presiden Jokowi di Menara Pandang, kawasan IKN, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (23/2/2023) - Humas Setkab/Agung.

Bisnis.com, JAKARTA - Upaya pemerintah untuk menekan kembali defisit fiskal di bawah tiga persen dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 diperkirakan sulit tercapai karena dipengaruhi oleh sejumlah faktor. 

Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF), pemerintah mematok defisit APBN 2024 di kisaran 2,16 persen hingga 2,64 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau setara dengan Rp496,6 triliun sampai dengan Rp610,9 triliun.

Sementara itu, pemerintah membidik pendapatan negara pada rentang 11,81 - 12,38 persen dari PDB atau Rp2.719,1 triliun hingga Rp2.865,3 triliun. Adapun, belanja negara berada di kisaran 13,97 - 15,01 persen dari PDB atau berkisar Rp3.215,7 - Rp3.476,2 triliun. 

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, defisit fiskal yang ditargetkan pemerintah pada tahun depan diperkirakan sulit tercapai karena dipengaruhi 4 faktor utama.

Pertama, kecenderungan pemerintah dalam mendorong belanja populis,  mulai dari kenaikan bantuan sosial, belanja gaji aparatur sipil negara (ASN), belanja untuk stimulus UMKM hingga subsidi pangan dan pertanian. 

Kedua terkait kebutuhan terhadap belanja bunga utang yang meningkat. Bhima menilai tren suku bunga dan perebutan likuiditas global akan mendorong pemerintah untuk menaikkan kupon surat berharga negara. 

"Kondisi ini diperparah dengan nominal kenaikan pembiayaan utang baru tiap tahunnya. Kenaikan beban bunga utang estimasinya menjadi Rp480-Rp500 triliun di 2024," kata Bhima saat dihubungi Bisnis, Minggu (28/5/2023).

Bhima melanjutkan faktor ketiga adalah terjadinya tekanan pada rasio pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akibat berakhirnya momentum ledakan harga komoditas. 

Masih berdasarkan dokumen KEM PPKF, pemerintah menetapkan rasio perpajakan di kisaran 9,91 hingga 10,18 persen dari PDB. Akan tetapi, termoderasinya harga komoditas berisiko menggerus rasio pajak.

"Risiko rasio pajak kembali ke level 9 persen bisa berdampak ke pelebaran defisit anggaran," kata Bhima. 

Faktor terakhir atau keempat menurut Bhima, pemerintah akan menggunakan sejumlah cara untuk memaksimalkan realisasi belanja infrastruktur dan menyertakan modal ke BUMN Karya.

"Infrastruktur kan bagian dari legacy Pak Jokowi termasuk megaproyek IKN [Ibu Kota Nusantara] dan kereta cepat, imbasnya tentu ke pembengkakan belanja pemerintah," tutur Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dionisio Damara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper