Bisnis.com, JAKARTA - Output Industri China dan penjualan ritel tumbuh di bawah perkiraan pada bulan April 2023. Hal ini menunjukkan pemulihan ekonomi mulai kehilangan tenaga.
Berdasarkan dari data yang dirilis Biro Statistik Nasional China (NBS), output industri tumbuh 5,6 persen pada April 2023 (year-on-year/yoy), meningkat dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 3,9 persen.
Namun, pertumbuhan tersebut jauh dibandingkan proyeksi analis sebesar 10,9 persen, walaupun tingkat pertumbuhannya menjadi yang tercepat sejak September 2022.
Selanjutnya, penjualan ritel melonjak 18,4 persen (yoy), naik tajam dari 10,6 persen pada Maret 2023. Namun para analis memperkirakan pertumbuhan sebesar 21 persen.
Sebagaimana diketahui, data dari April lalu merupakan situasi di mana China berada dalam lockdown dan pembatasan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
"Data hari ini yang lebih lemah dari perkiraan menunjukkan betapa sulitnya menjaga mesin pertumbuhan tetap berjalan setelah menghidupkannya kembali," ucap Kepala ekonom Jones Lang Lasalle, Bruce Pang, mengutip dari Reuters (16/5).
Baca Juga
Ekonom Nomura juga melihat meningkatnya risiko penurunan berantai yang mengakibatkan data aktivitas yang lebih lemah, meningkatnya pengangguran, disinflasi yang terus-menerus, penurunan suku bunga pasar, dan pelemahan mata uang.
“Pertumbuhan tahunan di kuartal II/2023 diperkirakan masih tinggi akibat efek dasar yang rendah. Namun tren pertumbuhan diperkirakan melemah,” ungkap mereka.
Kemudian dari sisi investasi, investasi aset tetap meningkat 4,7 persen yoy dalam empat bulan pertama 2023, melambat dari 5,1 persen pada periode Januari-Maret 2023.
Investasi aset tetap swasta naik 0,4 persen, jauh di bawah kenaikan investasi oleh entitas negara sebesar 9,4 persen. Hal ini menunjukkan kepercayaan bisnis yang lemah.
Sementara itu, investasi properti yang menjadi pilar utama ekonomi anjlok 16,2 persen (yoy) bulan lalu setelah turun 7,2 persen di bulan Maret.
Selain itu, tingkat pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi yakni 20,4 persen. Kepala ekonom Pinpoint Asset Management Zhiwei Zhang mengatakan bahwa ini menjadi tanda yang mengkhawatirkan.
"Dengan China sekarang keluar dari sweet spot pembukaan kembali, harapan perbaikan sentimen lebih lanjut dapat berkurang karena tidak adanya tindakan tegas pemerintah," kata ekonom Citi dalam sebuah catatan.
Membahas mengenai kebijakan, Bank Sentral China mempertahankan suku bunga, namun pasar memperkirakan pelonggaran moneter lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang karena data komoditas juga menyoroti kelemahan ekonomi.
Kabinet China pada akhir April juga meluncurkan rencana untuk meningkatkan lapangan kerja dan perdagangan, dikarenakan pemerintah mencoba untuk memenuhi target pertumbuhan moderatnya sekitar 5 persen pada tahun 2023, setelah gagal mencapai target tahun lalu.