Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gaet Minat Investor, Indef: Investasi Penghiliran Mineral Harus Punya Standar ESG

Indef menilai penetapan standar ESG dapat meningkatkan daya saing produk mineral dalam negeri di pasar global.
Nikel/Istimewa
Nikel/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah didorong untuk menetapkan standar pemenuhan aspek lingkungan dan keberlanjutan pada setiap investasi penghiliran mineral strategis untuk meningkatkan daya saing produk olahan mineral Indonesia di pasar global. 

Produk olahan mineral Indonesia akan menghadapi tantangan dengan terimplementasinya Undang-Undang (UU) Penurunan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat. IRA juga belakangan membuat goyah komitmen investor global pada pada penghiliran mineral dan batu bara di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, pemerintah mesti menetapkan standar yang serius pada lingkungan hidup, sosial dan tata kelola atau environmental, social, governance (ESG) industri penghiliran tambang mineral kritis di dalam negeri untuk dapat masuk pada pasar Amerika Serikat (AS).

“Seluruh investasi misalnya kita mau hilirisasi semua harus punya standardisasi yang clean energy yang bisa diinvestasikan bagi investor AS yang penuh standar lingkungan bahwa proses pengolahan nikel benar-benar ESG,” kata Tauhid saat dihubungi, Jumat (12/5/2023). 

Konkretnya, Tauhid mendorong pemerintah mewajibkan setiap perusahaan tambang mineral kritis domestik untuk memiliki laporan ESG berkala untuk menjamin investasi hijau pada sisi hulu hingga pengolahan lebih hilir mineral logam tersebut. 

Laporan ESG itu diharapkan dapat memberi akses bagi produk tambang domestik diterima oleh pasar AS yang ketat saat ini selepas penerapan IRA awal 2023.

Di sisi lain, dia mengatakan, pemerintah perlu memberi subsidi dan insentif yang lebih masif pada beberapa perusahaan tambang yang sudah berkomitmen pada laporan ESG tersebut. Menurut dia, insentif itu mesti diberikan lebih khusus pada produk dengan standar ESG agar dapat meningkatkan daya saing di pasar yang masih mahal saat ini. 

“Kita harus penuhi standar, seharusnya di market harganya sesuai lewat subsidi agar benar-benar layak bisa jalan,” kata dia.

Seperti diketahui, sejumlah komitmen investasi pada penghiliran mineral kritis dan batu bara di Indonesia belakangan batal dilaksanakan akibat daya tarik IRA yang kuat bagi investor global.   

Misalkan, Air Products & Chemical Inc (APCI) belakangan menarik komitmen investasi mereka sebesar US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun untuk pengembangan gasifikasi batu bara menjadi DME bersama dengan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA)  di Muara Enim, Sumatera Selatan awal tahun ini.  

Selain itu, APCI lewat usaha patungan bersama dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources, PT Air Products East Kalimantan (PT APEK), juga menarik investasi mereka sebesar Rp33 triliun untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol dari kesepakatan bersama dengan anak usaha PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), Kaltim Prima Coal (KPC).   

Saat itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan mundurnya APCI dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia disebabkan karena paket insentif dan subsidi EBT yang ditawarkan pemerintah dianggap kurang menarik.  

“Air Product merasa di Amerika Serikat lebih menarik bisnisnya jadi dia ke sana, dengan adanya subsidi untuk EBT jadi ada proyek yang lebih menarik untuk hidrogen, Amerika lagi mendorong pemakaian itu,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/3/2023).   

Malahan, kata Arifin, sejumlah komitmen investasi pengembangan EBT di beberapa negara Eropa turut susut akibat Undang-Undang Penurunan Inflasi Amerika Serikat tersebut.  

“Itu yang menyebabkan investor banyak lari ke sana [Amerika Serikat],” kata dia.  

Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Asean Business Advisory Council (Asean-BAC) Arsjad Rasjid mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk berlaku adil dalam pemberian subsidi hijau bagi mineral kendaraan listrik.   

Arsjad menilai negatif sikap diskriminatif AS terhadap mineral kritis asal Indonesia yang tertuang pada paket subsidi untuk teknologi hijau.   

Undang-Undang itu mencakup US$370 miliar subsidi untuk teknologi energi bersih. Namun, baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak IRA secara penuh.  Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri hulu bijih nikel.    

“Kami berupaya memastikan memiliki portofolio inklusif, baik China maupun non-China dalam sektor pertambangan nikel guna mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dan saling menguntungkan,” kata Arsjad seperti dikutip dari siaran resmi, Kamis (6/4/2023). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper