Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan ritel bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri masih mempelajari tren pelemahan harga minyak mentah dunia yang merosot cukup dalam pada perdagangan Rabu (26/4/2023) kemarin.
Kajian atas pelemahan harga minyak mentah itu dilakukan sebelum perusahaan mengambil keputusan untuk penyesuaian harga ritel BBM baru pada periode Mei 2023.
“Masih kami review, karena harga minyak mentah masih fluktuatif,” kata Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting saat dihubungi, Kamis (27/4/2023).
Di sisi lain, Irto menggarisbawahi, selain harga minyak mentah harga BBM ritel nantinya juga bakal mempertimbangkan posisi nilai tukar rupiah, Mean of Platts Singapore (MOPS), dan faktor lainnya.
Sementara itu, badan usaha penyalur BBM swasta, Shell, menyatakan perseroan konsisten untuk melakukan penyesuaian harga jual setiap bulannya mengikuti sejumlah faktor pembentuk harga bahan bakar tersebut kepada masyarakat.
Corporate Communications Shell Indonesia Edit Wahyuningtyas mengatakan, perseroannya tengah mengkaji potensi penyesuaian harga sebulan ke depan berdasar pada harga minyak mentah bulan ini, volatilitas pasar, kurs, pajak pemerintah, bea cukai, distribusi hingga operasional.
Baca Juga
“Shell melakukan penyesuaian harga dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan berbagai faktor,” kata Edit saat dihubungi.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga minyak mentah turun tajam pada akhir perdagangan Rabu (26/4/2023) waktu setempat setelah OPEC+ memprovokasi reaksi Amerika Serikat terhadap rencana pemotongan produksi.
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni, anjlok 3,59 persen menjadi menetap di US$74,30 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Juni terperosok 3,81 persen, menjadi ditutup di US$77,69 per barel di London ICE Futures Exchange.
Mengutip Bloomberg, Kamis (27/4/2023), Arab Saudi dan mitranya terus memprovokasi reaksi dari Gedung Putih ketika mereka mengejutkan pasar minyak global dengan pengurangan produksi baru. Namun, dengan minyak mentah Brent tenggelam di bawah US$80 per barel pada Rabu, anggapan OPEC+ bahwa pemotongan diperlukan untuk mencegah kelebihan pasokan mendapatkan pembenaran.
“Tidak ada keraguan dalam pikiran saya bahwa alasan di balik pengumuman awal April tentang pemotongan pada bulan Mei adalah tepat. Mereka yang memperkirakan minyak di atas $100 tidak memahami betapa lemahnya pasar,” kata Ed Morse, kepala penelitian komoditas di Citigroup Inc.