Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan masih melakukan negosiasi dengan China untuk bisa menurunkan bunga pinjaman untuk kebutuhan pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
Dia menyampaikan bahwa pemerintah China masih menawarkan bunga sebesar 3,4 persen untuk pinjaman yang akan disalurkan melalui China Development Bank (CDB).
Untuk diketahui, Indonesia dan China telah menyepakati besaran dana pinjaman untuk cost overrun KCJB sebesar US$560 atau Rp8,3 triliun. Sementara itu, pemerintah masih akan terus berupaya menegosiasikan besaran bunga tersebut hingga ke kisaran 2 persen.
“Kemarin kita dapat offer bunga 3,4 persen, tetapi kita masih ingin lebih rendah lagi dan sedang didiskusikan,” katanya, Senin (10/4/2024).
Luhut menyampaikan besaran bunga pinjaman yang ditawarkan oleh China tersebut masih berada di bawah level yang ditawarkan negara-negara lain di sekitar 6 persen.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa persoalan pemerintah yang harus menanggung risiko cost overrun perlu menjadi perhatian di samping proses negosiasi pinjaman.
Baca Juga
Dia mengatakan pembengkakan biaya KCJB disebabkan oleh proses perencanaan yang salah di awal atau feasibility study. Sementara itu, pengajuan pinjaman baru untuk menutup cost overrun menurutnya hanya akan menguntungkan pihak kreditur.
“Kalau bicara bunga, artinya pemerintah Indonesia yang tetap keluar uang baik melalui BUMN maupun APBN langsung,” katanya kepada Bisnis, Rabu (12/4/2024).
Dia menilai biaya yang harus ditanggung penuh oleh BUMN dan pemerintah Indonesia kurang fair, mengingat proses perencanaan proyek KCJB yang terlalu optimistis dan kreditur juga menawarkan bunga murah.
Beban utang dari proyek kereta cepat pun kata Bhima akan semakin menimbulkan efek berantai ke defisit APBN.
Selain itu, pengaruh ke operasional kereta cepat juga menjadi semakin dilematis. Bhima menuturkan demi mempercepat pelunasan utang, maka harga tiket harus dinaikkan, sementara jika harga tiket naik, maka jumlah penumpang berpotensi dibawah proyeksi ideal.
“Situasi ini justru memperberat subsidi negara ke kereta cepat. Padahal subsidi juga ditujukan untuk golongan tidak mampu, sedangkan calon penumpang kereta cepat golongan mampu,” tuturnya.
Bhima menambahkan solusi untuk menanggung pembengkakan biaya proyek cepat adalah dengan skema burden sharing atau berbagi beban antara kreditur dan pemerintah.
“Sekarang opsi yang terbuka adalah debt swap. Menukar utang kereta cepat China dengan program subsidi tiket kereta cepat,” jelas Bhima.
Di satu sisi, dengan skema itu, beban utang pemerintah Indonesia akan berkurang, di sisi lain kreditur China akan mensubsidi tiket sebagai bagian dari goodwill terhadap masyarakat Indonesia.