Bisnis.com, JAKARTA - Langkah kelompok OPEC+ yang memangkas kuota produksi secara tiba-tiba mendorong harga minyak menuju US$100 per barel. Imbasnya, negara Barat bakal bergulat dengan inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi.
Keputusan ini menandakan persatuan dalam OPEC+, meskipun ada tekanan dari Amerika Serikat (AS) terhadap sekutu-sekutunya di Teluk untuk melemahkan hubungan mereka dengan Moskow, termasuk upaya Barat untuk membatasi pendapatan minyak Rusia.
Dilansir dari Reuters pada Senin (3/4/2023), harga minyak melonjak lebih dari 6 persen setelah OPEC+ mengumumkan pemangkasan target produksi lebih lanjut sekitar 1,16 juta barel per hari (bph) mulai Mei sampai akhir 2023.
Kesepakatan tersebut membawa total volume pemangkasan oleh kelompok tersebut sejak November menjadi 3,66 juta barel per, setara dengan 3,7 persen dari permintaan global.
OPEC+ diperkirakan akan mempertahankan produksi stabil 2023, setelah memangkas 2 juta barel per hari pada November 2022.
Arab Saudi mengatakan pemangkasan produksi secara sukarela merupakan tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mendukung stabilitas pasar.
Baca Juga
Wakil Perdana Menteri (PM) Rusia Alexander Novak mengungkapkan gangguan terhadap dinamika pasar adalah salah satu alasan di balik pemangkasan tersebut.
"Pemangkasan baru ini mendukung bahwa kelompok OPEC+ masih utuh dan bahwa Rusia masih merupakan bagian integral dan penting dari kelompok tersebut," kata analis SEB, Bjarne Schieldrop.
Adapun, Pihak Rystad Energy meyakini pemangkasan ini akan menambah ketatnya pasar minyak dan mengangkat harga di atas US$100 per barel untuk sisa 2023, yang mungkin akan membawa Brent mencapai US$110 pada musim panas ini.
UBS juga memperkirakan Brent akan mencapai US$100 pada Juni, sementara Goldman Sachs menaikkan prediksi Desember sebesar US$5 menjadi US$95.
Goldman mengatakan pelepasan cadangan minyak strategis (SPR) di Amerika Serikat dan Prancis, karena pemogokan yang sedang berlangsung, serta penolakan Washington untuk mengisi ulang SPR-nya pada tahun fiskal 2023, mungkin telah mendorong tindakan OPEC+.
Schieldrop mengatakan Harga yang lebih tinggi kemungkinan akan berarti lebih banyak pendapatan bagi Moskow untuk mendanai perangnya yang mahal di Ukraina, yang akan mengganggu hubungan Saudi-AS di masa depan.
"Pemerintah AS mungkin juga berpendapat bahwa harga minyak yang lebih tinggi akan melawan upayanya untuk memadamkan api inflasi," tuturnya.
Kepala ekonom di Sumitomo Corporation Global Research Takayuki Honma pasokan OPEC+ yang lebih ketat juga akan berdampak negatif bagi Jepang karena dapat meningkatkan inflasi dan melemahkan ekonomi negara tersebut.
"Negara-negara produsen tampaknya ingin melihat harga minyak naik ke US$90-$100/bbl, tetapi harga minyak yang lebih tinggi juga berarti risiko yang lebih tinggi dari penurunan ekonomi dan permintaan yang lesu," tambahnya.
Pembelian oleh China diperkirakan akan mencapai rekor pada 2023 karena pulih dari pandemi Covi-19, sementara konsumsi dari importir nomor tiga India tetap kuat, kata para pedagang.
Dengan harga yang lebih tinggi dan berkurangnya pasokan minyak mentah asal Timur Tengah, China dan India mungkin akan terdorong untuk membeli lebih banyak minyak Rusia, sehingga meningkatkan pendapatan untuk Moskow.
Kenaikan harga Brent dapat mendorong Ural dan produk minyak Rusia lainnya ke harga di atas batas yang ditetapkan oleh Kelompok Tujuh Negara (G7) yang bertujuan untuk membatasi pendapatan minyak Rusia.