Bisnis.com, JAKARTA — Laporan Global Talent Trends/GTT Study 2023 menyoroti isu kesehatan mental para pekerja atau karyawan di perusahaan Indonesia masih tertinggal dari perusahaan di Asia lainnya.
Laporan itu menjelaskan bahwa kesejahteraan karyawan turut menjadi hal krusial supaya dapat menarik dan mempertahankan karyawan, selain memberikan gaji yang adil. Kesejahteraan tersebut meliputi kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan finansial.
Para pengusaha di Indonesia atau sebesar 45 persen diketahui memperlakukan karyawannya jauh lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lain di Asia yang hanya sebesar 39 persen terkait dengan pertimbangan beban kerja dengan kesejahteraan bagi karyawannya.
Misalnya memperkenalkan sistem hari tanpa rapat kepada para karyawan. Jadi tidak setiap hari karyawan harus mengadakan rapat.
“Namun perusahaan di Indonesia sebanyak 36 persen masih tertinggal dari Asia sebanyak 40 persen dalam menjadikan isu kesehatan mental bukanlah aib atau memalukan dan mendorong perawatan diri serta menyediakan layanan kesehatan mental virtual saat diperlukan,” bunyi laporan itu.
Sementara itu, sebanyak 28 persen perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan 38 persen di Asia telah meningkatkan aksesibilitas program bantuan karyawan hingga ke para pekerja garis depan.
Sementara itu, untuk mengurangi burnout, pada tahun ini sebanyak 96% perusahaan di Indonesia versus rata-rata 90 persen di Asia mengambil langkah menciptakan lingkungan kerja yang mementingkan pribadi tiap individu.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah dengan membangun budaya kerja yang mengajak karyawannya untuk menjadi diri sendiri sebesar 62 persen, berinvestasi dalam berbagai pelatihan supaya dapat berkolaborasi secara efektif sebesar 51 persen, dan menata ulang pekerjaan serta proses kerja yang mempertimbangkan kesejahteraan karyawan sebesar 49 peren dan masih banyak lagi.
Pada waktu yang sama, banyak perusahaan juga memprioritaskan transformasi kantornya setelah Covid-19.
Para pemimpin HR di Indonesia juga menghadapi keprihatinan tersendiri dalam menyeimbangkan rencana transformasi dengan pola pikir untuk bertahan hidup yakni sebesar 57 persen dibandingkan dengan 45 persen untuk rata-rata Asia, dan mewujudkan transformasi dengan anggaran yang ada, yakni sebesar 37 persen dibandingkan dengan 26 persen untuk rata-rata Asia.
Selain itu, hanya sebesar 31 persen perusahaan di Indonesia yang mengatakan bahwa mereka menawarkan pilihan fleksibilitas kerja bagi para karyawannya. Angka ini lebih rendah dari rata-rata koresponden global sebesar 56 persen.
Lebih jauh lagi, 43 persen di antaranya tidak berencana untuk memberikan penawaran tersebut ke depannya. Hasil tersebut berbenturan dengan ekspektasi karyawan, di mana 7 dari 10 karyawan di Asia berpendapat bahwa keuntungan dapat bekerja jarak jauh atau hybrid menjadi aspek penting bagi mereka saat menerima tawaran.
Menghadapi berbagai kondisi tersebut, para pemimpin HR dari 76 perusahaan responden di Indonesia mengatakan bahwa mereka berniat untuk merancang proses perekrutan, promosi dan manajemen talenta berdasarkan keahlian (62 persen), meningkatkan pengalaman karyawan sebagai modal kerja utama mereka (59 persen), memperbaiki program kerja terkait tenaga kerja (57 persen), dan mengatur ulang tanggung jawab karyawan demi memperdalam keahlian mereka (57 persen) pada tahun ini.
Laporan GTT juga memaparkan cara organisasi dalam menata ulang pekerjaan dan tempat kerja mereka, khususnya dengan mengaitkan faktor sosiopolitik dan ekonomi saat ini.
Hal ini juga termasuk mengidentifikasi tren terkait keterampilan para pekerjanya supaya institusi mereka dapat berkembang pada masa yang akan datang. Temuan GTT tahun termasuk cakupan soal kebutuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam hal pengembangan institusi berbasis keterampilan.
Sehubungan dengan adanya inflasi ekonomi, sebanyak 50 persen perusahaan di Indonesia, dibandingkan dengan pada 26 persen perusahaan lain di Asia dan global, mengaku memanfaatkan bonus untuk meningkatkan total paket kompensasi karyawan. Perusahaan-perusahaan tersebut enggan memperbesar gaji pokok mereka demi menghindari komitmen jangka panjang.
Sementara itu, dalam aspek memberikan pendapatan sebagai penyesuaian biaya hidup atau kenaikan upah, perusahaan-perusahaan Indonesia (24 persen) sedikit lebih baik dibanding rata-rata perusahaan lain di Asia (22 persen) namun masih berada di bawah rata-rata global (29 persen ). Hal ini diyakini merupakan cara yang lebih berkelanjutan dalam mengelola kompensasi bagi organisasi.
Mayoritas pengusaha masih optimistis membukukan pertumbuhan ekonomi yang stabil atau, bahkan, meningkat pada 2023 terlepas dari situasi ekonomi yang tak terduga. Namun, ketika membuat rencana kerja tahun ini, para pengusaha paling mengkhawatirkan naiknya biaya modal dan utang, ketatnya persaingan pasar tenaga kerja, dan sulitnya menemukan tenaga kerja dengan kemampuan yang tepat.
Terkait hal tersebut perusahaan di Indonesia diharapkan bisa menciptakan lingkungan kerja yang ideal secara berkelanjutan sehingga memberikan peluang bagi para karyawan untuk berkembang.
Director of Career Services Mercer Indonesia Isdar Mawan menjelaskan hal tersebut perlu dilakukan secara terus menerus supaya dapat terbangun momentum kuat dalam menciptakan tenaga kerja yang aktif terlibat pada setiap kegiatan di perusahaan dan mereka menjadi terampil.
“Sebagai contoh, perusahaan dapat menerapkan lebih banyak strategi dan memberikan pengaturan kerja yang lebih fleksibel. Pengaturan tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menarik dan mempertahankan para pekerja,” ujarnya, Senin (20/3/2023).
Perusahaan pun sebaiknya berinvestasi dan berinisiatif memberikan kesejahteraan secara total serta holistik demi mempertahankan pekerja yang ada. Mereka pun dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan efisiensi kerja. Dengan demikian, keterlibatan karyawan dalam pekerjaan yang dilakukan dapat bernilai lebih tinggi.