Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Water Institute (IWI) menegaskan bahwa penggunaan bahan konstruksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan membutuhkan landasan hukum yang kuat.
Founder and Chairman IWI Firdaus Ali mengatakan bahwa bahan konstruksi yang tidak memiliki jejak karbon seperti semen non-Ordinary Portland Cement (OPC) dan kayu ramah lingkungan memiliki harga yang lebih murah dan kualitas lebih bagus jika dibandingkan dengan semen dan kayu pada umumnya.
Dia juga mencontohkan bahwa semen OPC yang digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan saat ini berkontribusi terhadap 24,6 persen emisi gas rumah kaca, sehingga bisa berdampak negatif terhadap lingkungan.
“Semen yang biasa itu menyumbang 24,6 persen emisi gas rumah kaca. Makanya nih, waktu kita pendek sekali untuk mencegah agar tidak semakin parah. Kami akan terus dorong penggunaan bahan konstruksi yang rendah emisinya,” tuturnya kepada Bisnis di sela-sela acara Sustainable Infrastructure Forum bertema Komitmen Bersama Untuk Pengurangan Emisi Karbon dan Strategi Pembiayaan Infrastruktur Berkelanjutan di Auditorium Kementerian PUPR, Rabu (15/3/2023).
Menurut Firdaus, semua produsen bahan konstruksi bangunan belakangan sudah mulai membuat bahan yang ramah terhadap lingkungan. Dia mengimbau agar tidak ada lagi bahan konstruksi bangunan yang meninggalkan jejak emisi karbon di kemudian hari.
“Mereka kan baru-baru ini saja bikin yang ramah lingkungan setelah ramai diterapkan di Singapura dan Eropa,” katanya.
Baca Juga
Firdaus menjelaskan bahwa sejumlah negara Eropa dan Singapura sudah tidak boleh lagi menggunakan bahan konstruksi bangunan yang tidak ramah lingkungan. Menurut Firdaus, Indonesia juga sudah menerapkan ketentuan serupa.
Indonesia, kata Firdaus, sudah memiliki aturan tersebut melalui Instruksi Menteri PUPR No. 4/2020 tentang Penggunaan Semen Non Ordinary Portland Cement (OPC) pada Pekerjaan Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat. Sayangnya instruksi menteri tersebut pelaksanaannya masih belum maksimal di Indonesia.
“Kita sudah ada instruksi menteri tetapi belum dijalankan. Jadi kalau di lapangan itu, konsultan pakai aturan yang lama. Kalau diubah nanti bakal terjadi temuan. Makanya ini butuh landasan hukum yang kuat,” ujarnya.