Bisnis.com, JAKARTA - Satu pandangan menarik diutarakan oleh mantan Menteri Keuangan Bambang PS. Brodjonegoro terkait dengan pemanfaatan biomassa.
Dalam artikelnya di salah satu media nasional, beliau menyebut biomassa sebagai energi inklusif dan sirkular. Pandangan itu menjadi bentuk dukungan sekaligus harapan supaya biomassa atau bioenergi dapat berkontribusi besar dalam upaya transisi energi menuju net zero emission (NZE).
Menarik untuk mengelaborasi frasa “menciptakan transisi energi yang adil dan inklusif”, mengingat selama ini kita lebih akrab dengan Just ETP (Energy Transition Partnership) atau transisi energi yang adil. Penambahan kata inklusif memperluas kriteria ETP yang diharapkan, sekaligus menjanjikan manfaat yang lebih luas dalam proses dan hasil-hasil ETP tersebut.
Transisi energi adalah upaya-upaya untuk mencapai NZE melalui dua kegiatan utama yakni, pertama, pemenuhan energi final dalam bentuk listrik dan non-listrik di semua sektor dengan menggunakan sumber energi terbarukan atau sumber energi lain yang zero atau minim emisi. Kedua, pengurangan emisi dari pembangkit listrik dan fasilitas/plant existing yang banyak menghasilkan emisi pada saat operasional.
Dari enam jenis energi terbarukan yang tersedia seperti air, panas bumi, bioenergi, surya, angin, dan samudra, hanya jenis bioenergi dari biomassa, biofuel, biogas, dan sampah yang bisa dikendalikan oleh manusia. Bioenergi ini bisa ditambah, dikurangi, disesuaikan dan lain lain oleh manusia. Bioenergi secara sederhana adalah energi yang dihasilkan dari biomassa, sehingga biomasa bisa disebut sebagai energi yang inklusif.
Sifat Inklusif biomassa mudah dipahami karena pengembangan dan pemanfaatan biomassa yang sumbernya berasal dari limbah pertanian, perkebunan, hutan, kemudian sampah, limbah hewan ternak, dan pengembangan hutan energi akan mengikutsertakan banyak orang sekitar dan golongan dengan berbagai latar belakang.
Baca Juga
Transisi energi menuju NZE yang adil dan inklusif memang masih menjadi tantangan besar. Namun, pemanfaatan biomassa melalui beragam bioenergi ini dapat memenuhi aspek adil, inklusif plus sirkular karena potensinya di Indonesia besar dan bahkan bisa dibuat sangat besar.
Berdasarkan data ESDM-EBTKE 2021, kapasitas Pembangkit Listrik Bioenergi Indonesia sekarang ini sebesar 1,92 GW, dan hanya sekitar 80 MW dalam bentuk Independet Power Producer (IPP). Dengan kapasitas sekitar 2 GW atau sekitar 3% dari total kapasitas pembangkit nasional, jelas masih sangat kecil proporsinya.
Selain itu, kecilnya porsi IPP yang hanya 4%, merefleksikan adanya kendala di sisi suplai biomassa dalam jangka panjang dan faktor harga pembelian listrik IPP jenis bioenergi oleh PT PLN (Persero).
Komitmen global untuk melakukan transisi energi menuju NZE telah memberi momentum besar untuk pengembangan energi terbarukan khususnya biomassa, karena di samping pengembangan masif PLTBm dan PLTBg, biomassa juga berperan dalam program substitusi/konversi pemakaian batu bara di PLTU (program cofiring) dan konversi dari PLTD ke PLT EBT.
Dalam konteks substitusi energi fosil yang mahal dengan energi bersih yang lebih murah, maka PLTBm adalah salah satu solusi dalam program konversi PLTD ke PLTBm.
Hanya saja, beberapa tantangan baru dengan dinamika permintaan biomassa antara lain disparitas harga biomassa untuk tiga jenis market berbeda dengan urutan harga tinggi ke rendah; biomassa untuk pasar ekspor, biomassa untuk domestik nonenergi, dan harga biomassa untuk listrik domestik.
Kemudian, ketiadaan regulasi dan kebijakan pemerintah yang mendukung atau mengatur program cofiring Biomassa ini. Selain itu, harga bahan baku/raw biomassa limbah, di mana dinamika atas permintaan biomassa yang meningkat tajam baik karena program cofiring, pemintaan dari industri domestik serta pasar ekspor, telah membentuk harga untuk raw biomassa limbah yang tinggi di sejumlah lokasi khususnya produk sawdust, sekam padi serta EFB (tandan kosong) sawit.
Kondisi ideal untuk bisnis cofiring biomassa, PLTBm dan PLTBg adalah dengan tersedianya suplai jangka panjang dengan harga keekonomian serta tersedianya dukungan pendanaan yang mudah dan murah. Kondisi ideal ini sampai sekarang belum sepenuhnya bisa terealisasi.
Oleh karena itu, pelaku usaha maupun masyarakat mestinya dapat berperan dalam usaha dan kegiatan dengan cara menangkap dan mendorong semua pihak untuk mengambil peluang dari lima market yang diciptakan pemerintah.
Melakukan kajian untuk mendorong dimulainya investasi dan penanaman hutan tanaman energi. Lalu, mendorong pemerintah untuk secepatnya melengkapi regulasi bisnis terkait dengan energi biomassa, terutama Permen ESDM tentang cofiring. Selanjutnya, melakukan kajian terhadap harga PLTBm dan PLTBg dalam Perpres No. 112/2022 dan mengusulkan dukungan/insentif jika diperlukan untuk pengembangan PLTBm/PLGBg skala kecil ( 5 MW ke bawah).
Terakhir, mengedukasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan kota dalam menghitung potensi biomasa limbah pertanian/perkebunan/hutan yang bisa digunakan untuk sektor energi. Energi bukan hanya infrastruktur, bukan hanya pendorong industri, bukan hanya penggerak ekonomi. Pada pemanfaatan dan dalam rantai suplai hulu-hilir, biomassa/bioenergi adalah lapangan kerja karena inklusivitas dan sirkular biomassa, sesuai dengan semangat diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi, dan terbarukan.