Bisnis.com, JAKARTA — Gerakan boikot bayar pajak yang mencuat belakangan ini setelah kasus salah satu pejabat Ditjen Pajak dinilai tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan negara, karena struktur penerimaan telah beralih ke pajak konsumsi.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai bahwa mencuatnya isu boikot bayar pajak tidak terlepas dari kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah.
Mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo diketahui memiliki harta di atas Rp56 miliar, yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak wajar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyelidik asal usul harta Rafael itu.
Harta Rafael menjadi sorotan usai anaknya, Mario Dandy Satrio, menganiaya korban berinisial D. Mario kerap menunjukkan gaya hidup mewah melalui media sosialnya, salah satunya mengendarai mobil Jeep Wrangler Rubicon, yang kemudian menjadi barang bukti dalam kasus dugaan penganiayaan.
Menurut Prianto, mencuatnya gerakan boikot bayar pajak merupakan penyaluran atas rasa kecewa masyarakat terhadap tingkah laku pemerintah, terutama pejabat pajak itu. Dia pun menilai bahwa ekspresi masyarakat itu wajar.
Di sisi lain, Prianto meyakini bahwa gaung boikot bayar pajak tidak akan berpengaruh besar bagi masyarakat dan penerimaan negara secara umum. Menurutnya, terdapat tiga alasan yang mendasari argumentasi itu.
Baca Juga
“Pertama, basis pemajakan kita sudah bergeser dari pajak penghasilan ke pajak Pertambahan Nilai [PPN]. Kebijakan seperti ini menyebabkan pajak itu menempel ke transaksi. Dengan kata lain, setiap masyarakat atau perusahaan yang bertransaksi sudah pasti memunculkan pembayaran PPN,” ujar Prianto kepada Bisnis, dikutip Senin (6/3/2023).
Pada dasarnya, masyarakat dan dunia usaha sudah membayar pajak yang ada dalam transaksi konsumsi. Bahkan, konsumsi rokok dan minuman beralkohol pun menjadi pajak secara tidak langsung karena terdapat cukai di dalamnya.
Kedua, menurut Prianto, pajak penghasilan [PPh] yang dibayarkan oleh pemberi kerja sudah pasti telah dipotong, disetor, dan dilaporkan ke negara. Penghasilan perusahaan dari jasa juga sudah pasti dipotong PPh oleh pemberi penghasilan.
“Perusahaan juga secara umum menyetorkan angsuran PPh bulanan [PPh 25]. Pembayaran PPh akhir tahun hanya berkaitan PPh kurang bayar yang tersisa,” ujarnya.
Ketiga, Undang-Undang Pajak sudah memberikan kewenangan luas bagi pemerintah, khususnya Ditjen Pajak, untuk menegakkan aturan pajak dari yang paling ringan hingga paling berat.
“Bentuknya dapat berupa penerbitan ‘surat cinta’ [SP2DK atau surat teguran], pemeriksaan, hingga penyidikan pajak. Langkah tersebut dapat diambil Ditjen Pajak jika masyarakat tidak bersedia bayar dan lapor pajak,” ujar Prianto yang juga Founder PT Pratama Indomitra Konsultan.