Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan DPR dinilai perlu mengeluarkan usulan skema bisnis pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik atau power wheeling dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET).
Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara berpendapat skema bisnis itu berpotensi mengerek tarif listrik di tingkat konsumen yang berasal dari pembengkakan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik swasta yang mesti ditanggung PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Apalagi, kata Marwan, PLN saat ini sudah terbebani biaya pembelian listrik dari swasta lewat skema take or pay yang mesti dikompensasi pemerintah relatif besar tiap tahunnya.
“Ini masuk ke dalam biaya operasi PLN menjadi biaya operasi maka biaya pokok penyediaan listrik itu akan naik kalau BPP-nya naik, tarif listrik juga naik,” kata Marwan saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (24/1/2023).
Umumnya, kata Marwan, biaya operasional pembangkit dari swasta lebih mahal ketimbang milik PLN. Kondisi itu, menurut dia, bakal berdampak negatif pada keterjangkauan pembelian listrik di tingkat konsumen.
“Yang lebih penting itu PLN sendiri sudah punya EBT [energi baru terbarukan], PLN sudah menyediakan daya yang lebih murah dibandingkan swasta,” tuturnya.
Baca Juga
Adapun, skema yang sempat diusulkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu belakangan ditarik lantaran mendapat evaluasi dari Kementerian Keuangan pada akhir tahun lalu.
Kementerian Keuangan beralasan skema bisnis itu justru berpotensi untuk merugikan keuangan PLN di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik saat ini.
Sebelumnya, penyerahan daftar rancangan inventarisasi masalah atau DIM RUU EB-ET sempat tertunda lantaran timbulnya perbedaan pandangan antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian ESDM terkait dengan skema bisnis power wheeling tersebut.
Pemerintah pun baru resmi menyerahkan DIM RUU EB-ET pada Rapat Kerja (Raker) Komisi VII pada Selasa (29/11/2022) lalu.