Bisnis.com, JAKARTA – Dolar Amerika Serikat (AS) terpantau terkoreksi 0,3 persen dan mendekati level terendah sejak April 2022. Hal tersebut akibat komentar dovish dari pejabat Federal Reserve (The Fed) yang menunjukkan bahwa bank sentral akan memperlambat laju kenaikan suku bunga.
Mengutip dari Bloomberg, Senin (23/1/2023), indeks dolar AS (US$) tergelincir 0,3 persen, sementara euro justru naik sebesar 0,4 persen menjadi US$1,0903 per euro.
Pejabat The Fed pada pekan lalu mengemukakan kasus penurunan lain dalam kampanye pengetatan bank sentral menyusul data ekonomi termasuk penurunan penjualan ritel dan output pabrik.
Gubernur The Fed Christopher Waller, salah satu yang lebih hawkish di The Fed, mendukung kenaikan suku bunga sebesar seperempat poin atau 25 bps.
Menurut data Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas terbaru, investor institusional termasuk dana pensiun, perusahaan asuransi, dan reksa dana telah mendorong net short dalam greenback ke level tertinggi sejak Juni 2021.
Kepala Strategi Mata Uang di National Australia Bank Ltd., Ray Attrill, mengungkapkan bahwa data ekonomi As yang lemah akan membebani greenback.
"Data AS yang lebih lemah membebani greenback karena AS kehilangan keunggulan pertumbuhan," tulisnya.
Sementara itu, Di Eropa, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengatakan pada bahwa para pembuat kebijakan tidak boleh menyerah dalam pertempuran mereka melawan inflasi bahkan ketika lonjakan harga konsumen tampaknya telah mencapai puncaknya.
Sementara inflasi utama telah mereda, kenaikan harga pokok mencapai rekor pada pada Desember 2022.
Ahli Strategi Commonwealth Bank of Australia, Joseph Capurso memprediksi euro dapat naik lebih lanjut pekan ini jika data awal PMI (Purchasing Manager Index) yang akan dirilis besok, menunjukkan ekonomi sedang berkembang.
"Kami melihat risiko condong ke pembacaan PMI yang lebih kuat dari perkiraan konsensus karena harga energi terus menurun," tulisnya.