Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

World Economic Forum (WEF): Risiko Negara Berkembang Dikerek Inflasi

Laporan Risiko Global 2023 yang dirilis WEF menyatakan bahwa tingginya inflasi akan meningkatkan tekanan ekonomi negara berkembang.
Suasana deretan gedung bertingkat dan perumahan padat penduduk di Jakarta. WEF 2023 menyebutkan tekanan inflasi menjadi beban baru bagi negara berkembang.  Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Suasana deretan gedung bertingkat dan perumahan padat penduduk di Jakarta. WEF 2023 menyebutkan tekanan inflasi menjadi beban baru bagi negara berkembang. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Laporan World Economic Forum (WEF) 2023 menyebutkan bahwa negara-negara berkembang akan menghadapi tekanan ekonomi dan trade off lebih lanjut pada tahun ini.

Laporan Risiko Global 2023 yang dirilis WEF menyatakan bahwa tingginya inflasi akan meningkatkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang berjalan stagnan, likuiditas terguncang, dan kesulitan utang dalam skala global.

Selain itu, para importir energi akan menanggung beban harga yang lebih tinggi akibat menguatnya dolar Amerika Serikat (AS). WEF menyimpulkan bahwa berlanjutnya hal tersebut akan menyebabkan inflasi impor di seluruh dunia.

“Aliran modal global selama dekade terakhir telah meningkatkan paparan pasar negara berkembang terhadap kenaikan suku bunga, terutama yang memiliki proporsi utang berdenominasi USD yang tinggi, seperti Argentina, Kolombia, dan Indonesia,” tulis laporan WEF dikutip pada Minggu (15/1/2023).

Di sisi lain, laporan tersebut menyatakan pengetatan kebijakan moneter di sejumlah negara, seperti Brasil, Meksiko, Chile, Peru, dan Kolombia, mampu meminimalkan paparan tersebut. Beberapa negara juga melakukan langkah intervensi terkait dengan valuta asing.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi terbarunya menyebutkan bahwa inflasi global akan menurun, dari hampir 9 persen pada 2022 menjadi 6,5 persen pada 2023, dan 4,1 persen pada 2024. Adapun disinflasi akan lebih tajam di negara-negara maju.

Meski demikian, WEF menyebutkan bahwa tekanan harga secara menerus berpotensi menyebabkan suku bunga naik lebih tinggi guna menghindari de-anchoring atau guncangan harga jangka pendek, yang mampu mengubah ekspektasi jangka panjang.

“Bank sentral telah mempercepat normalisasi kebijakan moneter pascapandemi. Hampir 90 persen [33 dari 38] bank sentral yang dipantau oleh Bank for International Settlements menaikkan suku bunga pada tahun 2022,” tulis laporan WEF.

Kenaikan suku bunga bunga secara cepat akan membuat konsekuensi yang tidak diinginkan dan meningkatan error dalam pengambilan kebijakan. Hal ini dapat mengarah pada penurunan ekonomi secara lebih dalam, sehingga meningkatkan potensi resesi global.

Dari perspektif lain, jika relatif terkendali, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan tetap melambat menjadi 2,7 persen pada 2023. Angka ini mencerminkan sepertiga ekonomi dunia bakal menghadapi technical recession.

“Penurunan ini akan dipicu oleh pasar maju dengan pertumbuhan yang diproyeksikan turun menjadi 1,1 persen pada 2023. Sementara itu, ekonomi terbesar yakni Uni Eropa, China, dan AS terus menghadapi tantangan pertumbuhan,” tulis WEF.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dionisio Damara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper