Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk meninjau ulang klausul yang tertuang pada perjanjian jual beli listrik (PJBL) antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dengan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Direktur IESR Fabby Tumiwa menilai PJBL yang telah mengikat PLN selama ini cenderung memberatkan arus kas serta operasional perusahaan setrum pelat merah tersebut.
Apalagi, kata Fabby, PLN terikat kewajiban pembelian minimal 70 hingga 80 persen produksi listrik swasta, yang biasa disebut dengan skema take or pay (ToP).
Skema itu belakangan memperlebar beban pembelian listrik PLN dari pembangkit swasta. Pada laporan keuangan semester ketiga 2022, PLN mencatatkan beban pembelian listrik mencapai Rp94,22 triliun. Beban itu mengalami kenaikan 22,58 persen jika dibandingkan dengan pembelian listrik pada periode yang sama 2021 di posisi Rp76,86 triliun.
“Kan tidak wajar, operasional PLTU satu tahun tidak bisa sampai 80 persen, full kok capacity factor yang dipakai, harusnya risikonya berapa yang minim, kalau 60 persen wajar,” kata Fabby saat dihubungi, Minggu (15/1/2023).
Di sisi lain, pertumbuhan pembelian tenaga listrik itu tidak ikut diimbangi dengan penjualan listrik yang relatif bergerak moderat pada periode yang sama.
Baca Juga
PLN mencatatkan penjualan listrik sebesar Rp231,04 triliun sepanjang Januari hingga September 2022 atau hanya naik 8,57 persen jika dibandingkan dengan pencatatan pada periode yang sama tahun sebelumnya di angka Rp212,8 triliun.
Menurut Fabby, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait mesti melakukan penyelidikan khusus ihwal kontrak PJBL tersebut. Dia berharap penyelidikan itu dapat memperbaiki skema ToP serta klausul PJBL lainnya yang selama ini memberatkan PLN.
“Kalau sekarang kan susah PLN tidak punya amunisi karena direksi sekarang tidak bertanggung jawab terhadap kontrak-kontrak itu,” kata dia.
Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti kenaikkan beban pembelian listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dari pembangkit swasta yang meningkat drastis selama satu tahun terakhir.
Kenaikan beban itu terbilang eksesif yang ikut mengoreksi arus kas perusahaan setrum pelat merah itu dalam jangka panjang.
“Itu indikasi bahwa pembelian tenaga listrik terlalu eksesif, melampaui kecepatan penjualan listrik yang relatif sudah bagus 8,6 persen, di atas pertumbuhan ekonomi,” kata Abra saat dihubungi, Minggu (15/1/2023).
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto menerangkan peningkatan beban yang signifikan itu disebabkan karena beroperasinya dua pembangkit baru dari pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) pada periode tersebut.
“Peningkatan pembelian tenaga listrik triwulan ketiga 2022 disebabkan oleh beroperasinya pembangkit IPP baru, yaitu PLTU Jawa 4 [2x1.000 megawatt] dan PLTU Jateng [2x1.000 megawatt],” kata Greg saat dihubungi, Minggu (15/1/2023).
Kendati demikian, Greg mengatakan, perseroan terus berupaya meningkatkan tren penjualan lewat sejumlah program intensifikasi dan ekstensifikasi kepada konsumen. Misalkan, dia mencontohkan, program sambung baru, promo tambah daya, akuisisi captive power serta penawaran daya setrum bagi industri.
“Selain itu saat ini PLN juga terus meningkatkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dengan menyiapkan infrastruktur pendukung Stasiun Penyedia Kendaraan Listrik Umum [SPKLU],” kata dia.