Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan kondisi pada 2022 sungguh tak biasa. Kepada para bankir, dia mengatakan 2022 merupakan merupakan tahap pemulihan Covid-19 menjadi situasi yang tidak biasa dan berdampak pada kondisi ekonomi global, bahkan Indonesia.
Kondisi tersebut terbukti dari banyaknya kejadian luar biasa atau extraordinary situation. Salah satu indikatornya, kata Sri Mulyani, yaitu meroketnya inflasi di negara-negara maju.
“2022 merupakan sebuah tahun yang sungguh tidak biasa, belum pernah dalam 40 tahun terakhir inflasi di negara maju,” ungkapnya dalam acara CEO Banking Forum, Senin (9/1/2023).
Sri Mulyani mengatakan bahwa negara-negara maju yang umumnya mengalami deflasi pada tahun-tahun sebelumnya, namun pada 2022 justru mengalami inflasi dan langsung menuju angka double digit.
Menurutnya, inflasi yang dialami Amerika Serikat pada 2022 bahkan hampir menyentuh 9 persen, sementara Indonesia berada di kisaran 5 persen.
“2022 was not an ordinary time, itu waktu di mana sesudah tahun ketiga dunia dihadapkan pada pandemi Covid-19, dan belum selesai, dunia berharap pada 2022 dapat berjalan lancar dan pulih lebih kuat,” lanjutnya.
Pada kenyataannya, dalam melakukan pemulihan ekonomi, terjadi gangguan supply & demand dan membutuhkan adaptasi. Setelah 3 tahun banyak pelaku ekonomi hibernasi, dan mulai kembali aktivitasnya, Sri Mulyani melihat perlu adanya penyesuaian untuk menjalankan roda ekonomi.
Bahkan, kata dia, pekerja menuntut upah lebih mahal setelah vakum selama pandemi yang akhirnya memicu naiknya angka inflasi dan membuat negara-negara maju kaget dengan situasi tersebut.
“Jadi kalau kamu ingin saya keluar dari hibernate saya, bayar saya lebih tinggi, itu yang memicu inflasi, upah harus dinaikan untuk mengeluarkan orang dari kandangnya, memicu jumlah barang, permintaan dan services, dan gaji gaji yang meningkat. Itu fenomena mereka [negara maju] kaget dengan situasi itu,” jelasnya.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) kembali mewanti-wanti adanya risiko resesi global pada 2023, terutama di negara-negara kecil yang rentan.
Adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi juga sangat mungkin terjadi dengan kondisi saat ini terutama dengan adanya geopolitik yang mendorong kenaikan harga komoditas global. Sri Mulyani memperkirakan di 2023 akan terjadi pelemahan pemulihan ekonomi.
“2022 was not an ordinary time, pandemi masih ada, negara mulai melakukan normalisasi, terjadi disrupsi karena tidak sinkron supply demand, memicu inflasi, direspon dengan kenaikan suku bunga, cost of fund mahal, kemungkinan recovery yang masih awal akan mengalami pelemahan lagi,” katanya.