Bisnis.com, JAKARTA - Tekanan eksternal yang bertubi-tubi menerpa perekonomian nasional tampaknya tidak menyurutkan ‘nyali’ Bank Indonesia (BI) untuk terus berinovasi. Untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah, misalnya BI proaktif merespons dengan kebijakan penerbitan instrumen operasi moneter valuta asing anyar.
PP No. 1/2019 mewajibkan devisa hasil ekspor (DHE) dari pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam (SDA) harus disimpan di Tanah Air. Sebagian besar DHE SDA memang sudah masuk ke dalam negeri, tetapi tidak lama ‘kerasan’ di rekening khusus DHE.
Instrumen operasi moneter BI menawarkan insentif kepada eksportir dan perbankan guna mendorong DHE SDA ditempatkan lebih lama di dalam negeri. Bank penerima DHE bisa meneruskan (pass-on) simpanan DHE-nya ke BI dengan mekanisme pasar yang transparan dan imbal hasil yang atraktif.
Transparansi mekanisme pasar bisa disidik dari lelang. Term deposit dalam valuta asing ditawarkan dengan suku bunga 3,75% hingga 4%. Suku bunga final yang didapat tergantung bidikan dari para bank. Dengan demikian, perbankan bisa mendapatkan selisih lebih (spread) dari nasabah.
Instrumen operasi moneter di atas agaknya mengombinasikan antara transaksi repo SBN (surat berharga negara) dan DNDF (domestic non deliverable forward). Perbankan yang mengalami kekeringan likuiditas rupiah bisa menjual SBN ke BI dengan perjanjian akan dibeli kembali dalam tenggat tertentu.
Sebaliknya, perbankan yang memiliki kelebihan likuiditas rupiah bisa mengalokasikan portofolionya ke dalam SBN dari BI dengan perjanjian akan dijual kembali selama kurun tertentu. Suku bunga transaksi repo SBN adalah suku bunga acuan, 7-day reverse repo rate, yang ditetapkan BI.
Baca Juga
Sementara piranti DNDF merujuk petukaran valuta asing tanpa diikuti pertukaran fisiknya. Kurs yang berlaku berdasarkan hasil kesepakatan. Jika nantinya ada selisih kurs (antara kurs kesepakatan dan kurs pasar) saat transaksi berlangsung, BI mengovernya dengan mekanisme lelang.
Kendati inovatif untuk konteks DHE, instrumen operasi moneter tersebut tidak lepas dari sejumlah persoalan mendasar. Persoalan pertama datang dari eksportir itu sendiri. Di satu sisi, banyak eksportir meminjam dana dari perbankan luar negeri tempat mereka melakukan transaksi bisnis ekspor/impor. Perbankan luar negeri itu niscaya mensyaratkan pengusaha Indonesia harus memiliki simpanan dana dalam valuta asing di sana.
Di sisi lain, keengganan eksportir menyimpan DHE di dalam negeri terkait dengan persepsi kemudahan untuk mendapatkan devisa kembali. Nilai dolar Amerika Serikat saat dilepas akan berbeda saat mereka memerlukannya lagi. Artinya, eksportir harus mengeluarkan rupiah dalam jumlah lebih besar saat mencari dolar.
Alhasil, instrumen insentif dari BI itu setidaknya harus bisa menutup selisih kurs antara saat pemilik DHE menjual dan ketika membeli. Artinya, instrumen moneter BI bisa menjalankan fungsi sebagai lindung nilai (hedging) nilai tukar valuta asing antara pemilik DHE dan perbankan, sebagaimana DNDF.
Kalaupun eksportir bersedia menyimpan DHE ke perbankan nasional, persoalan tidak selesai sampai di situ. Valuta asing dari eksportir bisa jadi tidak diteruskan ke BI. Kasus repo SBN bisa menjadi pelajaran. Alih-alih transaksi repo, perbankan lebih suka mencari rupiah di pasar uang antarbank (PUAB).
Kemiripan cerita dikhawatirkan berlaku pada DHE. Dana DHE yang dipegang bank terbuka peluang malah diperdagangkan di PUAB, bahkan PUAB luar negeri, lagi-lagi masalah insentif. Tingginya suku bunga dolar yang ditawarkan perbankan Singapura cukup kuat membelokkan DHE menuju ke sana.
Apapun akar persoalannya, upaya menarik DHE ke dalam negeri dengan skema insentif sejatinya bukan hal yang baru. Desain insentif tarif pajak terhadap DHE (dalam dolar atau rupiah) yang disimpan ke perbankan nasional pada 2015 tidak cukup efektif lantaran benefit finansial yang didapat lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan.
Program amnesti pajak Jilid I dan II juga memberi tambahan pengalaman betapa sulitnya merepatriasi dana dari luar negeri. Realisasi repatriasi jauh di bawah nilai komitmennya. Artinya, Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi lebih memilih untuk membayar penalti daripada merepatriasi dananya.
Sejumlah kasus di atas mengindikasikan sistem reward tidak bisa diadopsi dalam konteks DHE. Upaya lebih ‘tegas’ diperlukan untuk mengevakuasi DHE dari luar negeri. Kebijakan semi kontrol devisa untuk menaruh DHE selama 6—9 bulan yang berhasil diterapkan Thailand bisa menjadi referensi solusi jangka pendek.
Tanpa upaya yang konkret, pasokan valuta asing, cadangan devisa di pasar keuangan domestik, dan stabilitas nilai tukar rupiah jauh panggang dari api. Jika demikian, pasokan devisa tinggal digantungkan pada rasa ‘nasionalisme ekonomi’ para pemegang valuta asing demi kepentingan nasional.
Setuju?