Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Opini: Karena Kita Hanya Punya Satu Bumi

Pada 2015 lalu, seluruh negara di dunia berkomitmen dalam Perjanjian Iklim Paris untuk menahan laju kenaikan suhu bumi tidak mencapai 2 derajat celsius
Suhu di Manresa, Spanyol mencapai 36 derajat Celcius pada Minggu (15/8/2021). Gelombang panas mulai melanda kawasan Mediterania./Bloomberg-Angel Garcia
Suhu di Manresa, Spanyol mencapai 36 derajat Celcius pada Minggu (15/8/2021). Gelombang panas mulai melanda kawasan Mediterania./Bloomberg-Angel Garcia

Bisnis.com, JAKARTA - Berapa lama lagikah bumi ini bisa kita tinggali?

Pertanyaan ini menjadi tanda tanya terbesar bagi para ilmuwan dan kita semua akan berapa lama kita bisa tinggal di bumi ini, seiring dengan adanya ancaman pemanasan global. Kita pun membaca berbagai upaya yang dilakukan untuk mencari alternatif tempat kehidupan di planet lain.

Tidak tanggung-tanggung, miliarder Elon Musk sudah menargetkan akan mulai mengirim manusia ke Mars paling lambat pada 2026 mendatang.

Usia bumi sendiri sudah sangat tua. Mengutip dari National Geographic, Bumi diperkirakan berusia 4,54 miliar tahun, itu pun berdasarkan perkiraan para ilmuwan yang menghitung berdasarkan temuan batu tertua. Jadi bisa saja lebih tua dari angka tersebut.

Kekhawatiran akan masa depan umat manusia juga disuarakan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, sebuah badan anggota Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) yang bertanggung jawab melakukan penilaian dan penelitian tentang perubahan iklim.

Rilis terbaru IPCC pada tahun 2022, menyebutkan bahwa manusia hanya memiliki waktu tiga tahun atau sampai tahun 2025 untuk memperbaiki efek rumah kaca.

Penelepasan emisi gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia telah menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer dan meningkatkan suhu bumi yang kita tinggali atau yang kita kenal dengan pemanasan global.

Jika pada tahun 2025, kita gagal menekan angka peningkatan suhu, maka bumi akan semakin sulit untuk ditinggali. Dampak buruknya pun sudah mulai kita rasakan mulai dari badai tropis, banjir, kebakaran hutan, hingga kekeringan, atau yang kita sebut dengan perubahan iklim.

Mencegah Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak bagi seluruh duniaPada 2015 lalu, seluruh negara di dunia berkomitmen dalam Perjanjian Iklim Paris untuk menahan laju kenaikan suhu bumi tidak mencapai 2 derajat celsius di atas suhu sebelum masa Revolusi Industri dan selanjutnya tidak lebih dari 1,5 derajat celsius.. Untuk mengatasinya pun membutuhkan upaya serius dari semua negara dalam mengurangi emisi.

Untuk itu, setiap negara menyampaikan komitmen mengenai berapa banyak emisi yang akan dikurangi. Perjanjian Paris juga menjadi dasar legal implementasi pengendalian perubahan iklim di tingkat global yang harus dilaksanakan dan mengikat semua negara.

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris ini pada tahun 2016 dan menyampaikan komitmennya dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dengan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41 persen bersyarat (dengan bantuan dan kerja sama internasional), serta net zero emission pada tahun 2060.

Indonesia sendiri merupakan salah satu dari 10 negara terbesar penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Dampak pemanasan global bagi Indonesia tidak main-main, selain menimbulkan banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan, mengancam produksi pangan, dan merusak biota laut, pemanasan global membuat kenaikan permukaan air laut.

Kenaikan permukaan air laut diperkirakan menyebabkan 2.000 pulau di Indonesia berpotensi tenggelam pada tahun 2050, terutama bagi daerah yang ketinggian permukaan air lautnya hanya 1 sampai 1,5 meter, seperti pulau Seribu. Kini kenaikan permukaan air laut rata-rata setiap tahun mencapai 2,5 meter, sementara pata tahun 2006 kenaikan ini baru mencapai 1,8 meter.

Pentingnya Keuangan Berkelanjutan dan Upaya Regulator

Tingginya tingkat emisi tidak terlepas dari kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia, dan hampir semua kegiatan ekonomi melibatkan sektor jasa keuangan dalam pembiayaannya.

Di sinilah peran sektor jasa keuangan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan menyalurkan pembiayaan yang tidak hanya mempertimbangan keuntungan, namun juga mempertimbangkan aspek lingkungan (Environment), sosial (Social), dan tata Kelola (Governance) atau ESG. Hal ini yang disebut dengan keuangan berkelanjutan.

Keuangan berkelanjutan berperan penting dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan menjaga stabilitas ekonomi pada jangka panjang.

Tentu proses menerapkan keuangan berkelanjutan membutuhkan waktu, tahapan serta proses transisi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator di sektor jasa keuangan telah mengeluarkan berbagai kebijakan mulai dasar roadmap, peraturan, pedoman, hingga stimulus kebijakan kepada industri jasa keuangan.

Pertama, OJK telah meletakkan dasar keuangan berkelanjutan melalui Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I tahun 2015 - 2019 yang berfokus pada peningkatan pemahaman, pengembangan kapasitas serta peletakan dasar regulasi bagi industri jasa keuangan.

Roadmap ini kemudian dilanjutkan dengan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II tahun 2021-2025 untuk mempercepat penerapan prinsip ESG di Indonesia. Roadmap Tahap II berfokus pada penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan secara komprehensif, dengan melibatkan seluruh pihak terkait dan mendorong pengembangan kerja sama dengan pihak lain.

Kedua, OJK telah mengeluarkan berbagai peraturan mulai dari POJK 51 tahun 2017 tentang Keuangan Berkelanjutan, POJK 60 Tahun 2017 tentang Green Bond, KDK 24 tahun 2018 tentang Insentif Pengurangan Biaya, serta berbagai pedoman teknis turunannya.

Ketiga, OJK telah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) sebagai acuan panduan aktivitas ekonomi hijau yang berisikan daftar klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

THI mengklasifikasikan sektor atau subsektor usaha berdasarkan kriteria atau batasan yang ditetapkan, untuk selanjutnya dipetakan dalam klasifikasi hijau (ramah lingkungan), kuning (kurang ramah lingkungan), atau merah (tidak ramah lingkungan). Sehingga, sektor atau subsektor usaha yang masuk dalam kategori merah atau kuning dapat didorong secara bertahap untuk menuju sektor atau subsektor yang lebih ramah lingkungan.

Saat ini, THI mencakup pengklasifikasian 919 subsektor ekonomi, dari total 2.733 subsektor ekonomi sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia (KBLI) yang diterbitkan oleh Biro Pusat Statistik. Klasifikasi subsektor tersebut selanjutnya dijangkarkan dalam sektor-sektor prioritas penanganan perubahan iklim berdasarkan Nationally Determined Contributions (NDC), yaitu sektor energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan industrial processes and product use (IPPU).

Hadirnya THI akan memudahkan OJK dan pemerintah dalam menyiapkan insentif dan disinsentif untuk mendorong aktivitas dan kegiatan usaha di sektor hijau, serta menerapkan manajemen risiko yang memadai bagi sektor jasa keuangan.

Hingga saat ini selain Indonesia, baru terdapat tujuh negara serta dua Kawasan, Uni Eropa dan ASEAN, yang telah menerbitkan Taksonomi Hijau.

Keempat, OJK juga telah mengeluarkan serangkaian stimulus untuk mendukung pengembangan ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Beterai (KBLBB). Stimulus ini mulai dari menurunkan bobot risiko kredit (ATMR) dari 75% menjadi 50% untuk produksi dan konsumsi KBLBB, penilaian 1 pilar dalam kualitas kredit untuk pembelian KBLBB dan/atau pengembangan industri hulu KBLBB dengan plafon hingga Rp5 miliar.

Selanjutnya, mengkategorikan penyediaan dan pengembangan KBLBB sebagai pemenuhan penerapan keuangan berkelanjutan, dan pengecualian Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk penyediaan dana dalam rangka produksi KBLBB. Selain itu, OJK memberikan diskon pungutan untuk biaya Pernyataan Pendaftaran Green Bond menjadi sebesar 25% dari pungutan semula.

Penerapan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia

Berdasarkan Sustainable Banking and Finance Network (SBFN) Global Progress Report 2021, Indonesia bersama Cina dan Kolombia merupakan negara berkembang yang terdepan dalam mengimplementasikan keuangan berkelanjutan.

Selain itu, berdasarkan assessment dari Sustainable Banking Network (SBN) IFC – World Bank pada Juni 2019, Indonesia bersama Cina menjadi dua negara pertama yang telah memasuki tahap First Movers dalam maturing stage sustainable finance dari total 40 negara yang berkomitmen untuk implementasi inisiatif keuangan berkelanjutan.

Keberhasilan menerapkan keuangan berkelanjutan pun tidak terlepas dari peran aktif masyarakat. Masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam mendorong keuangan berkelanjutan dengan berinvestasi pada instrumen keuangan hijau, seperti green bond, sukuk hijau, obligasi hijau, reksa dana hijau, atau saham yang berbasiskan konsep keberlanjutan seperti yang tercantum dalam indeks saham IDX SRI-KEHATI dan IDX ESG Leader.

Tentu kita harapkan pilihan investasi hijau ke depan semakin beragam, dan proyek-proyek pembangunan berkelanjutan pun semakin banyak.

Mengurangi pemanasan global pun juga bisa dimulai dari hal sederhana di kehidupan sehari-hari, seperti mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menghemat penggunaan listrik, tidak menebang pohon sembarangan, mengurangi penggunaan kemasan plastik, dan menerapkan kebiasaan reduce, reuse, dan recycle.

Mari kita bersama menjaga bumi ini, karena kita hanya punya satu bumi untuk ditinggali bersama.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lydia Nurjanah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper