Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Celios: OJK Terlalu Banyak Dapat Amanat dalam RUU PPSK!

Dalam RUU tersebut tidak terlihat adanya kolaborasi antara Bappebti dan OJK, sehingga seolah-olah perdagangan karbon hanya diurus oleh OJK.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA  - Direktur sekaligus Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dalam Rancangan Undang-undang PPSK yang memfasilitasi pengembangan bursa karbon terlalu banyak mendapatkan amanat.

Menurut dia, dalam RUU tersebut tidak terlihat adanya kolaborasi antara Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan OJK, sehingga seolah-olah perdagangan karbon hanya diurus oleh OJK. 

Padahal, lanjutnya, perdagangan sertifikat karbon seharusnya menjadi wewenang BAPPEBTI.

“Jadi OJK di dalam RUU PPSK seperti overload atau terlalu banyak mendapatkan amanat, dan sebenarnya amanat ini bisa dibagikan ke dalam entitas atau regulator yang sudah existing,” kata Bhima dalam diskusi publik Bedah Peluang Kolaborasi Pasar Karbon dalam RUU PPSK, di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta, Selasa (22/11/2022).

Atas RUU tersebut, Bhima memberikan sejumlah rekomendasi. Bhima menyampaikan, jalan tengah dari hal tersebut adalah melakukan kolaborasi antara OJK dan Bappebti.

Misalnya pada pasal 5A ayat 9 RUU PPSK. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa OJK memiliki kewenangan untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon.

Bhima menyarankan, agar OJK dapat bekerja sama dengan Bappebti terkait hal ini lantaran kedua entitas ini harus berkolaborasi guna mengatur teknis perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon.

Adapun alasan dia menyarankan hal tersebut lantaran di banyak negara, kredit karbon atau bursa karbon justru ditempatkan sebagai komoditas bukan sebagai efek. Jika ini kemudian berada di bawah OJK, maka bursa karbon tidak bisa lagi didefinisikan sebagai komoditas melainkan efek sehingga konsekuensinya juga berbeda.

“Kedua, kita juga  mempertimbangkan sebenarnya beberapa pemain existing yang sudah ada di bawah Bappebti itu memiliki pengalaman untuk membuat infrastruktur bursa,” tuturnya.

Selain pasal  5A ayat 9 RUU PPSK, Bhima juga mengambil contoh pada pasal 26. Pada pasal tersebut berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai pasar karbon sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 A sampai dengan pasal 17 C diatur dalam peraturan OJK.

Dia menyebut, di samping typo penulisan referensi pasal, pasal tersebut menyebutkan bahwa aturan lebih lanjut akan diterbitkan melalui POJK. Padahal, pasar karbon global saat ini lebih diakui sebagai komoditi sehingga diperlukan kajian lebih lanjut terkait peran OJK dan Bappebti dalam pengaturan pasar karbon di Indonesia.

“Intinya OJK bukan tidak perlu terlibat, karena nanti target dari pasar karbon sekali lagi adalah kerja sama dari lintas [k/l]. KLHK juga perlu dilibatkan, mereka yang lebih paham. Jadi KLHK, bappebti, OJK, tiga entitas ini yang harus didorong untuk melakukan kolaborasi dan juga jalan tengahnya adalah tidak ada kewenangan yang ditarik,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper