Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro menilai pasar ekspor gas alam cair atau liquefied petroleum gas (LNG) makin ketat belakangan ini yang turut mengoreksi penjualan produk olahan domestik. Apalagi, menurutnya, sejumlah negara dapat memberikan produk LNG lebih kompetitif dibandingkan milik Indonesia.
Konsekuensinya, sejumlah kontrak pembelian jangka panjang LNG untuk pasar ekspor makin susut saat ini. Komaidi mencontohkan, buyer asal Jepang tidak lagi memperpanjang kontrak pembelian LNG dari terminal Bontang sejak tahun lalu. Padahal, alokasi LNG Bontang sebagian besar disalurkan untuk pasar Jepang selama ini.
“Ada beberapa hal termasuk menurunnya produksi yang dulu menggunakan delapan kilang sekarang tinggal beberapa dua atau tiga yang operasional untuk saat ini sehingga ada yang diistirahatkan,” kata Komaidi saat dihubungi Bisnis, Senin (7/11/2022).
Selain itu, Komaidi menerangkan, pasar ekspor LNG belakangan turut diramaikan oleh kedatangan sejumlah pemain baru yang berasal dari Qatar, Malaysia, Australia, dan Papua Nugini. Malahan, sebagian besar proyek LNG mereka sudah mulai onstream sejak 3 tahun lalu yang membuat pasokan LNG di pasar internasional relatif besar.
Di sisi lain, serapan LNG untuk pasar di dalam negeri masih terkendala kebijakan harga jual gas tertentu (HGBT) yang dipatok US$6 per million British thermal units (MMBtu) di sejumlah industri. Dari sisi harga, pasar ekspor relatif dapat menjaga keekonomian proyek lapangan jika dibandingkan dengan pasar domestik.
“Untuk industri tertentu di plant gate harus US$6 per MMBtu kalau itu ditetapkan jadi sulit untuk diserap di dalam negeri,” tuturnya.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, SKK Migas menargetkan total produksi siap jual atau lifting LNG domestik pada 2023 mencapai 206 standar kargo.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, masih terdapat potensi kargo belum terkontrak atau uncommitted cargo (UC) yang cukup besar dari Terminal Bontang, Kalimantan Timur. Dwi berharap potensi itu belakangan ikut menaikkan keekonomian lapangan serta investasi di sekitar kawasan tersebut.
“Potensi UC terdapat di Kilang LNG Bontang yang sebagian akan diprioritaskan untuk kebutuhan PLN dan pembeli domestik lainnya, dengan tetap mengalokasikan volume ke pasar ekspor untuk optimalisasi penerimaan negara dan kontraktor,” kata Dwi kepada Bisnis, Senin (7/11/2022).
Ihwal potensi lifting 206 kargo itu, SKK Migas memerinci terdapat 126 kargo dari Kilang LNG Tangguh dan 80 kargo dari Kilang LNG Bontang. Kendati demikian, tidak ada sisa UC dari LNG Tangguh tahun depan lantaran volume dari proyek Train 3 telah dipasarkan sejak beberapa tahun lalu.
“Harga LNG tetap tinggi setidaknya dalam 1 hingga 2 tahun ke depan. Ini tentu peluang bagi Indonesia untuk memasarkan UC ke pasar spot pun akan memberikan penerimaan optimal bagi negara dan kontraktor, serta mencari potensi buyer baru,” kata dia.