Bisnis.com, JAKARTA - Pada November 2022 mendatang, Bali akan menjadi lokasi KTT G20 pertama yang diselenggarakan oleh Indonesia, sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara (Asean) di forum G20 yang menjadi salah satu forum terbesar ekonomi di dunia.
Di tengah pandemi Covid-19, inflasi global, perubahan iklim, krisis energi dan pangan, serta tentunya konflik perang antara Rusia dan Ukraina, kita patut bersyukur di mana Indonesia masih menjadi negara G20 dengan proyeksi ekonomi oleh OECD yang tumbuh di atas 4% di tahun 2022 dan 2023 bersama China, Arab Saudi, dan India.
Terakhir kalinya Bali menjadi saksi konferensi besar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 pada 3—7 Desember 2013. Dalam konferensi tersebut lahirlah Paket Bali (Bali Package) yang bertujuan melonggarkan batasan perdagangan global, sekaligus unik, karena menjadi kesepakatan pertama yang disetujui oleh semua anggota WTO yang notabene adalah organisasi dengan tingkat kompleksitas negosiasi yang tinggi.
Sebagai satu-satunya negara Asean yang menjadi anggota G20, Indonesia selaku tuan rumah G20 tahun 2022 ini telah melahirkan banyak pertemuan di luar isu tatanan ekonomi global. Agenda-agenda di luar isu ekonomi banyak dilakukan termasuk di adanya pertemuan menteri-menteri yang selama ini belum pernah dilakukan seperti di bidang perencanaan dan pembangunan, pariwisata, pendidikan, kebudayaan, pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDGs) hingga pertemuan tingkat parlemen negara G20.
Untuk itu menarik dicermati bagaimana ‘Paket Bali Jilid II’ dirumuskan dan memberikan aksi konkret, bukan lagi retorika semata mengingat dunia sekarang sedang sekarat (dying) akibat multikrisis. Para pemimpin G20 harus bertindak berdasarkan penggerak fundamental yang selama ini belum menjadi perhatian serius, yakni mengurangi kesenjangan tingkat kepatuhan komitmen negara-negara G20. Hal ini menjadi ujian terhadap kredibilitas dan efektivitas G20 serta solusi yang sangat dibutuhkan dunia. Berdasarkan catatan oleh G20 Research Group dan University of Toronto, tingkat kepatuhan G20 masih rendah dengan rata-rata keseluruhan sebesar 71%, termasuk pada area tematik seperti kesehatan (72%), digitalisasi (68%) dan energi berkelanjutan (70%).
MANUVER DIPLOMASI
Baca Juga
Beberapa pokok kunci yang perlu dibawa oleh Indonesia sebagai tuan rumah dan dalam merumuskan Paket Bali Jilid II adalah sesuai daftar inventarisasi masalah mendesak yang luar biasa besar di seluruh dunia baik sektor sosial, ekonomi, ekologi dan keamanan.
Pertama adalah Rusia. Invasinya ke Ukraina telah meningkatkan masalah energi global yang berimbas ke banyak hingga fiskal dan moneter. ‘Kegagalan’ PBB sebagai garda terdepan resolusi perdamaian harus diambil alih oleh G20.
Kedua, konsentrasi dan totalitas pada masalah perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia seharusnya menjadi pionir dan sekaligus momentum untuk pembenahan internal baik dari manajemen sumber daya alam dan lingkungan seperti hutan, gambut, mangrove, energi, pertambangan, hingga masalah hidrometeorologi.
Emisi dunia 75% nya berasal dari G20, dan negara anggota G20 adalah penyumbang mayoritas degradasi lingkungan seperti deforestasi tinggi dari Argentina, Australia, Brasil dan Indonesia. Miris melihat negara non-G20 seperti Pakistan lebih memberikan keringat yang lebih banyak dengan inisiatif ‘Tsunami Miliaran Pohon’. Sejak 2018 sudah 30 juta pohon berhasil ditanam. Bahkan dampak Covid-19 yang menciptakan pengangguran dimanfaatkan pemerintah Pakistan dengan menampung 63.000 orang untuk menanam pohon.
Ketiga, kehatian-hatian makro (makroprudensial). Pertumbuhan ekonomi, yang makin tidak merata, dengan tingkat yang berbeda di berbagai negara, tergantung pada tingkat vaksinasi, kemampuan untuk pulih, dan kesinambungan dukungan fiskal dan moneter. Stimulus fiskal dan moneter, sambil mengurangi defisit fiskal pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya, utang publik dan swasta, neraca bank sentral utama, dan inflasi, yang lebih kuat lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya. Demikian juga dengan perlunya penghapusan utang untuk negara-negara miskin dan rentan.
Sejatinya banyak langkah bisa dilakukan termasuk pengalihan utang ke ragam bentuk termasuk ke pelestarian alam (debt for nature swap). Langkah Indonesia sebagai negara terdepan untuk memanifestasikan agenda pembiayaan berkelanjutan Addis Ababa Action Agenda perlu diapresiasi dengan skema pembiayaan campuran (blended financing). Inovasi pembiayaan pembangunan demikian mendorong kontribusi peran aktor di luar pemerintah seperti sektor swasta dan filantropi patut menjadi ditiru dan diarusutamakan oleh G20 khususnya dalam menyukseskan agenda SDGs.
Yang terakhir adalah perlunya G20 menyusun peta jalan (road map) pembangunan global dengan analisa adapatasi dan mitigasi yang praktikal terhadap potensi ancaman, bahaya, tantangan, dan bencana ke depan yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia. Aksi ini dapat didukung oleh mitra G20 seperti dari wadah pemikir atau think-tank (T20), pemuda (Y20) dan organisasi kemasyarakatan (C20).
Paket Bali akan menjadi warisan berharga dari kepemimpinan Indonesia di tatanan global. Keberhasilannya akan menjadi catatan sejarah yang akan dikenang generasi ke depan dan di seluruh dunia, mengikuti jejak ‘Dasasila Bandung’ dari Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 yang berkontribusi nyata dalam mendukung kesejahteraan dunia.