Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMF Ungkap Tiga Faktor Penekan Ekonomi di Asia-Pasifik, Apa Saja?

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik akan melambat pada 2022 dan 2023.
Ilustrasi krisis keuangan global/Freepik
Ilustrasi krisis keuangan global/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Asia Pasifik dianggap sebagai titik terang di saat prospek ekonomi global semakin gelap. Meskipun begitu, pertumbuhan ekonomi di wilayah ini diperkirakan melambat akibat sejumlah tantangan global.

Dalam outlook ekonomi Asia-Pasifik, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik akan melambat pada 2022 dan 2023. Hal tak terlepas dari sejumlah tantangan yang menyertainya..

Direktur departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan mengatakan pemulihan ekonomi Asia yang kuat pada awal tahun mulai kehilangan momentum. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 yang lebih lemah dari perkiraan IMF.

Adapun IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia menjadi 4 persen tahun ini dan 4,3 persen pada 2023 dari 4,9 persen dan 5,1 persen dalam World Economic Outlook April.

“Meskipun demikian, Asia tetap menjadi titik terang relatif dalam ekonomi global yang semakin meredup,” ungkap Krishna dalam Regional Economic Outlook Report for Asia and Pacific: Sailing into Headwinds, Jumat (28/10/2022).

IMF mengatakan Asia Pasifik menghadapi tiga tekanan ekonomi yang diperkirakan berlangsung terus menerus. Tekanan pertama ada pada pengetatan kebijakan moneter global. Federal Reserve menjadi jauh lebih agresif dalam memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan laju inflasi AS yang melonjak. Hal ini menimbulkan tekanan kondisi keuangan yang hebat di Asia.

Tekanan ekonomi kedua ada pada perang Rusia-Ukraina. Agresi Rusia di Ukraina berdampak pada lonjakan harga harga komoditas di Asia. Lonjakan harga komoditas ini menjadi faktor penting di balik depresiasi mata uang di sebagian besar negara di Asia.

Hambatan ketiga adalah perlambatan pertumbuhan China. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 3,2 persen tahun ini akibat dampak dari kebijakan Zero Covid dan krisis di sektor real estat.

Meskipun laju inflasi Asia cenderung lebih rendah dari regional lain pada 2021, gejolak tajam volatilitas di pasar komoditas global setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari memberikan tekanan tambahan pada inflasi utama Asia pada paruh pertama tahun 2022.

Krishna menekankan pembuat kebijakan perlu melakukan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut untuk memastikan bahwa inflasi kembali ke target dan ekspektasi inflasi tetap terkendali. Selain itu, konsolidasi fiskal juga diperlukan untuk menstabilkan tingkat utang dan mendukung sikap kebijakan moneter.

“Asia kini menjadi debitur terbesar di dunia selain menjadi penabung terbesar, dan beberapa negara berisiko tinggi mengalami debt distress. Dinamika utang pemerintah dan swasta menjadi lebih buruk setelah pandemi karena pertumbuhan yang lebih lambat dan tingkat utang yang lebih tinggi,” ungkapnya.

Selain itu, Khrisna mengatakan pendemi diperkirakan akan memicu penurunan output jangka panjang, dan tekanan ini diperkirakan akan menjadi yang terburuk di Asia dan Pasifik.

“Sebagian besar lesunya pertumbuhan di Asia dibandingkan kawasan diakibatkan oleh tingkat investasi yang lebih rendah setelah pandemi. Kerugian output ini juga sangat terasa di negara-negara yang bergantung pada pariwisata dan negara dengan tingkat utang tinggi,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper