Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harapan Pelaku Tambang Soal Formulasi Pajak Ekspor Olahan Nikel

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia berharap formulasi pungutan progresif nikel pig iron dan feronikel dapat fleksibel mengikuti kondisi pasar nikel.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel. /JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel. /JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah bersama dengan pelaku usaha masih mencari formulasi penentuan persentase bea keluar ekspor komoditas hasil olahan bijih nikel, nikel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi), yang ditargetkan rampung tahun ini. Formulasi pungutan progresif itu diharapkan fleksibel mengikuti kondisi pasar nikel mendatang.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menuturkan, otoritas fiskal masih menampung masukan yang disampaikan pelaku usaha tambang hingga pengolahan nikel sebelum akhirnya menetapkan besaran tarif pungutan ekspor akhir tahun ini.

“Yang pasti pendekatan yang digunakan akan mendekati harga pasar. Kemudian biayanya berapa, pendapatannya berapa untuk produk olahan itu,” Kata Meidy seusai rapat ihwal penggodokan pungutan itu bersama dengan pemerintah, Jumat (21/10/2022).

Dalam rapat itu, Meidy juga menuturkan, pemerintah tengah menimbang ulang kebijakan tax holiday bagi pabrik pengolahan nikel seiring dengan rencana implementasi pungutan ekspor progresif tersebut.

“Itu juga kan, sebenarnya sudah diberikan tax holiday. Itu dikaji kembali apakah akan diberikan kepada pabrik yang sudah berproduksi atau hanya khusus untuk pabrik baru,” tuturnya.

Kendati demikian, dia berpendapat, tingkat imbal hasil atau internal rate of return (IRR) dari pengusahaan pabrik olahan nikel bakal menyusut seiring dengan komitmen pemerintah untuk menerapkan bea keluar tersebut. Dia berharap kebijakan itu dapat mendorong investasi yang lebih masif pada industri hilir olahan nikel mendatang.

“Kalau bea keluar ditambah dengan PNBP royalti tingkat profit mereka sudah pasti menurun, berapa persentase tarif harapannya masih menguntungkan pelaku usaha,” kata dia.

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menargetkan pembahasan ihwal pungutan ekspor NPI dan FeNi itu dapat diselesaikan pada tahun ini.

Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Marves Tubagus Nugraha mengatakan, saat ini regulasi itu tengah dimatangkan di tingkat kementerian dan lembaga. Tubagus berharap kebijakan itu dapat mendorong investasi lebih lanjut untuk pembentukan industri hilir nikel di dalam negeri.

“Masih pembahasan, tahun ini harusnya sudah bisa diselesaikan, kami lagi bahas dengan teman-teman kementerian lembaga untuk menentukan lebih baik,” kata Tubagus.

Dia mengatakan, produk NPI yang sebagian besar diekspor saat ini masih bersifat barang setengah jadi atau intermediate product. Limpahan ekspor itu terjadi lantaran belum siapnya industri yang lebih hilir untuk menampung pemurnian nikel dari smelter saat ini.

“Harapannya sekarang sudah ada teknologi konversi dari NPI ke FeNi dikonversi jadi matte nikel kelas satu bisa diubah menjadi nikel sulfat, kobalt, prekursor, hingga katoda baterai, segala macam,” kata dia.

Adapun, industri tambang nikel terpaksa langsung mengekspor olahan bijih nikel hasil pemurnian awal lantaran belum terciptanya industri perantara dan hilir yang kuat untuk menyerap komoditas setengah jadi tersebut. Konsekuensinya nilai tambah olahan nikel dari sejumlah pabrik pemurnian dan pengolahan mineral logam atau smelter justru lari ke luar negeri.

CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan, situasi itu terjadi lantaran belum siapnya industri anoda domestik untuk melanjutkan serapan turunan dari mix hydroxide precipitate (MHP), seperti nikel sulfat (NiSO4) dan cobalt sulfat (CoSO4).

“MHP kita masih ekspor karena kita belum olah di dalam negeri sampai ke sulfat ke packing menjadi sel, itu masih tahap satu setelah bijih nikel, karena siapa yang mau beli?” kata Alex saat ditemui di Jakarta Convention Center, Rabu (12/10/2022).

Kawasan industri IMIP yang melingkupi luasan tambang nikel mencapai 43.000 hektare itu sudah memproduksi nickel pig iron (NPI) sebesar 3,63 juta metrik ton per tahun. Selain itu, kawasan industri IMIP juga memproduksi katoda mencapai 195.000 per metrik ton per tahun dari tiga industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper