Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Khudori

Khudori Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Khudori dikenal sebagai pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Saat ini dia menjadi anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Darurat Lahan untuk Pertanian

Indonesia kini memasuki periode darurat lahan pertanian dengan luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi.
Petani memikul benih padi yang akan di tanam pada lahan pertanian di Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Kementerian Pertanian tengah mempersiapkan kerja sama dengan BUMN dalam cetak sawah seluas 600.000 hektare, yang terdiri dari 400.000 hektare lahan gambut dan 200.000 hektare lahan kering sebagai antisipasi kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan. - Antara
Petani memikul benih padi yang akan di tanam pada lahan pertanian di Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Kementerian Pertanian tengah mempersiapkan kerja sama dengan BUMN dalam cetak sawah seluas 600.000 hektare, yang terdiri dari 400.000 hektare lahan gambut dan 200.000 hektare lahan kering sebagai antisipasi kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan. - Antara

Bianis.com, JAKARTA - Bertepatan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober, salah satu yang mesti jadi perhatian serius adalah bagaimana bangsa ini bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga di masa depan.

Dengan jumlah penduduk sebesar 275,8 juta jiwa pada 2022 dan konsumsi beras 111,58 kg/kapita/tahun dibutuhkan 30,77 juta ton beras. Tahun 2021, dari luas panen 10,412 juta hektare bisa diproduksi beras sebesar 31,36 juta ton. Yang mencemaskan, luas panen dan produksi beras terus menurun dari tahun ke tahun.

Pada 2018, dengan luas panen 11,378 juta hektare menghasilkan beras 33,94 juta ton. Ini berarti dalam empat tahun terjadi penurunan luas panen padi 966 ribu hektare. Ini jumlah yang amat besar. Produktivitas padi memang sedikit membaik, tapi tidak mampu menutup besarnya penurunan luas panen.

Di sisi lain, jumlah mulut yang perlu disuapi beras tiap malam terus bertambah. Jika kecenderungan ini berlanjut, tak perlu waktu lama produksi beras saat ini yang cuma surplus kecil itu tak lagi cukup menyuapi semua mulut.

Teknologi memungkinkan bertani hemat lahan dan hemat input dengan produksi lebih banyak, lebih baik, lebih berkualitas, dan lebih menguntungkan. Pertanian presisi, teknologi aeroponik, hidroponik, dan pertanian vertikal jadi alternatif yang diupayakan.

Namun, dalam puluhan tahun ke depan, sebagian besar produksi pertanian diperkirakan masih akan bertumpu pada lahan. Lahan-lahan petani gurem dan miskin.

Masalahnya, lahan pertanian sudah sakit dan kelelahan (soil fatique). Keuntungan usaha di on farm tak menjanjikan, produktivitas melandai, dan diversifikasi pangan gagal, sementara karena jerat kemiskinan konversi lahan pertanian subur-beririgasi berlangsung kian masif.

Indonesia kini memasuki periode darurat lahan pertanian. Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Ini mencakup sungai, rawa, dan hutan. Jika dibagi jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, luasan lahan per kapita hanya 0,70 hektare.

Bila yang dihitung hanya lahan yang bisa ditanami (arable land) yang luasnya cuma 26,3 juta hektare, maka ketersediaan lahan yang bisa ditanami per kapita jauh lebih kecil lagi, hanya 0,096 hektare. Bandingkan dengan Australia 2,63 (hektare); China 0,11; Amerika Serikat 0,61; Brasil 0,34; Ethiopia 0,12; India 0,16; Thailand 0,52; dan Vietnam 0,10.

Indonesia amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. AS memiliki lahan pertanian sekitar 175, India 161, China 143, Brasil 58, Australia 50, dan Thailand 31 (semua dalam juta hektare). Lahan sawah Indonesia, merujuk hasil audit Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019, hanya seluas 7,46 juta hektare. Di lahan ‘secuil’ itu selain berkompetisi belasan komoditas pangan, setiap tahun juga mengalami konversi ke penggunaan non-pertanian

Dari tahun ke tahun, konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus berlangsung tanpa jeda. Menyadari pentingnya melindungi dan mempertahankan lahan pertanian itu, maka dibuatlah aturan yang semangatnya melarang konversi: UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU No. 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Konversi bisa dilakukan dengan syarat ketat dan sanksi berat.

Sayangnya, karena hendak memberi ‘karpet merah’ pada investor, dua UU ini diamputasi oleh UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Bahkan, konversi merambah ‘wilayah sakral’ yang tak dijamah UU 41/2009 dan UU 22/2019: lahan berpengairan.

Konversi lahan pertanian juga difasilitasi. Ini bisa dibaca dari peta lahan sawah dilindungi di 8 provinsi sentra beras (Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat), seperti tertuang dalam SK Menteri ATR/Kepala BPN No. 1589/2021, bahwa pemerintah berkomitmen melindungi 3,84 juta hektare sawah saja dari 3,97 juta hektare lahan baku sawah. Artinya, lewat SK ini, secara implisit alih fungsi 136 ribu hektare sawah di 8 provinsi direstui pemerintah.

Delapan provinsi ini adalah wilayah sentra produsen komoditas utama, terutama tanaman pangan. Khusus untuk beras, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat adalah 4 dari hanya 13-14 provinsi surplus beras.

Yang membuat miris, peta lahan sawah dilindungi dalam SK Menteri ATR/Kepala BPN No. 1589/2021 itu bisa dengan mudah ditinjau kembali, ketika terdapat kebijakan nasional strategis atau secara fungsional dipandang tak dapat dipertahankan sebagai sawah yang dilindungi. Ini, sekali lagi, menegaskan ‘restu’ pemerintah guna memuluskan alih fungsi lahan pertanian.

Konversi lahan adalah fenomena lumrah selama industrialisasi, urbanisasi, dan pembangunan ada. Masalahnya, sebagai negara berpenduduk 4 besar dunia dan kejadian krisis pangan berulang, konversi lahan jadi persoalan krusial. Konversi lahan yang tak terkendali adalah ancaman serius masa depan bangsa. Konversi lahan membuat produksi pangan domestik merosot dan ketahanan pangan rapuh. Lalu, kita tergantung pada impor. Padahal, sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis, dan harganya tak stabil. Di sisi lain, proteksionisme negara eksportir kian menguat. Karena itu bergantung pangan impor hanya membuat bangsa rentan. Taruhannya hidup-mati.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Khudori
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper