Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies atau Celios menilai bahwa pemerintah harus segera menentukan aturan main pasar karbon, baik dalam konteksnya sebagai komoditas maupun bauran dengan efek. Selain itu, pemerintah perlu menegaskan rencana pemberlakuan pajak karbon.
Inisiasi pembentukan pasar karbon tercantum dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK). Wacana pembentukan pasar karbon pun menjadi langkah dalam mencapai target pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Ekonom dam Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa RUU itu belum memberikan penjelasan rinci mengenai aturan main pasar karbon. Menurutnya, perlu pengaturan mekanisme pasar karbon, apakah sebagai komoditas atau bauran komoditas dengan efek.
Bhima sendiri menyarankan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bauran komoditas dengan efek. Hal itu menurutnya dapat mempermudah perusahaan mencari pembiayaan ketika memiliki sertifikat karbon.
Celios mencatat bahwa di negara lain, mekanisme pasar karbon lebih banyak berupa komoditas ketimbang efek. Misanya, European Union Emissions Trading System (EU ETS), pasar karbon pertama dan terbesar di dunia yang menerapkan cap-and-trade system dengan basis pasar komoditas sejak 2005.
Meskipun begitu, selain menempatkan kredit karbon sebagai komoditas, beberapa studi turut mempertimbangkan penggunaan kredit karbon sebagai efek atau sekuritas. Seperti banyak jenis aset, pemilik kredit karbon dapat menggunakan kredit karbon sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan.
"Jika kredit karbon akan ditempatkan sebagai komoditas, mengikuti benchmark negara-negara lain, maka pemerintah dapat segera melaksanakan perdagangan karbon melalui ekosistem perdagangan komoditas yang sudah tersedia di bawah pengawasan Bappebti. Namun, tetap terbuka peluang koordinasi antara Bappebti dan OJK dalam mengkombinasikan alternatif pasar karbon sebagai komoditas dan efek," ujar Bhima pada Selasa (18/10/2022).
Menurutnya, sah-sah saja jika suatu negara memberlakukan sistem campuran dalam mekanisme pasar karbonnya. Bhima menyarankan agar pemerintah mengatur pembagian tugas yang jelas, sehingga mekanisme komoditas maupun efek dapat berjalan baik dan mampu mendukung pengembangan ekonomi hijau.
Celios pun menyoroti pentingnya berbagai infrastruktur penunjang untuk mengoptimalkan potensi pasar karbon, seperti sistem, pengawasan, hingga mekanisme pengaduan. Berbagai instrumen itu penting agar pasar karbon dapat meningkatkan peran seluruh pelaku yang ingin terlibat dalam mendorong percepatan penurunan emisi karbon.
Selain itu, ketentuan terkait karbon yang belum kunjung menghadapi titik terang adalah implementasi pajak karbon. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan pajak karbon berlaku 1 April 2022, pemerintah mengundurkanya ke 1 Juli 2022, tetapi kemudian masih belum berlaku hingga saat ini.
Kementerian Keuangan beralasan bahwa pajak karbon belum dapat diimplementasikan karena kondisi ekonomi global sedang tidak pasti, sehingga membuat ekonomi dalam negeri pun gamang. Sejauh ini, Kementerian Keuangan belum menyampaikan lagi kapan rencana implementasi pajak karbon setelah amanat UU HPP tidak tercapai.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut bahwa pihaknya menargetkan implementasi pajak karbon pada 2025, mundur tiga tahun dari amanat UU HPP. Dia menyebut bahwa pemerintah akan menggunakan dana dari pajak karbon untuk mendorong pengembangan dan pengembangan energi bersih atau terbarukan.