Bisnis.com, JAKARTA - Rentang manfaat yang begitu lebar membuat produk serat kayu tak kehilangan pamor pada era digitalisasi ini. Apalagi berkat inovasi dan teknologi, ragam produk konsumer yang memafaatkan serat kayu makin luas, mulai dari tisu, masker, hingga tekstil viscose berkualitas tinggi.
Tak heran jika valuasi produk pulp dan kertas di pasar global terus meningkat. Pada 2021, pasar produk pulp dan kertas diperkirakan mencapai US$351,5 miliar. Nilainya diproyeksi akan mencapai US$380,12 miliar pada 2030 (Presedence Research, 2022)
Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pemain utama di pasar pulp dan kertas. Pada 2021, nilai pasar di Asia-Pasifik mencapai US$173,86 miliar dan terus berkembang.
Saat ini ada 54 industri pulp dan kertas yang aktif beroperasi di Indonesia dengan produksi pulp 10,54 juta ton dan kertas 12,25 juta ton (Kemenperin, 2022). Dalam 5 tahun terakhir, nilai ekspor pulp dan kertas mengalami tren peningkatan. Sempat ada penurunan pada 2020 sebagai dampak pandemi Covid-19, tetapi sudah rebound pada 2021. Tercatat ekspor pulp pada 2021 senilai 3,2 miliar dolar AS, sementara untuk kertas senilai 4,22 miliar.
Ekspor pulp dan kertas Indonesia jelas masih sangat bisa ditingkatkan. Upaya yang bisa dilakukan di antaranya dengan lebih aktif melakukan penetrasi pasar. Adanya sertifikat yang menunjukkan bahan baku kayu yang dimanfaatkan bersumber dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan bisa memperkuat upaya itu. Indonesia memang sudah punya sertifikat berbasis Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian (SVLK) yang secara mandatory diterapkan oleh pemerintah. Meski demikian, ada juga pasar yang meminta sertifikat voluntary, misalnya sertifikat FSC (Forest Stewardship Council).
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memandang pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan secara lestari untuk dalam aktivitas produksi sejatinya bukanlah pilihan. Hal itu menjadi kewajiban yang memang harus dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha di Tanah Air untuk memastikan kegiatannya berjalan secara berkelanjutan.
Baca Juga
TATA KELOLA HUTAN
Dalam dokumen National Determined Contribution (NDC), Indonesia mencanangkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dengan upaya sendiri atau mencapai 41% dengan dukungan internasional. Indonesia juga sudah men-submit dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Agenda ini sebagian besar akan disokong dari aktivitas di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU) mencapai net sink pada 2030, yaitu kondisi ketika tingkat penyerapan GRK sudah seimbang atau lebih rendah dibanding emisinya.
Namun, saat ini ada ganjalan bagi pelaku usaha kehutanan Indonesia untuk berasosiasi dan mendapat sertifikasi FSC. Kendala itu adalah kebijakan cut off date November 1994. Kebijakan ini sesungguhnya timpang karena Indonesia baru mulai mengembangkan hutan tanaman untuk menghasilkan kayu dan serat sebagai bahan baku industri seperti pulp dan kertas setelah 1990-an.
Pembatasan ini juga bisa mempersulit FSC yang punya target untuk menyertifikasi hutan seluas 300 juta hektare. Untungnya, ada mosi (motion) 37/2021 yang diajukan member FSC untuk mengubah pembatasan itu. Berdasarkan mosi itu, akan ada kebijakan baru FSC terkait Policy for Association (PfA), Policy to Address Conversion (PAC) dan Remedy Framework. Mosi akan dibahas dan di-vote oleh seluruh member FSC yang hadir di General Assembly FSC di Bali, 9—14 Oktober 2022.
Salah satu poin penting dalam mosi itu adalah perubahan cut of date dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020. Perubahan ini diikuti dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan secara lingkungan dan sosial terhadap keterlanjuran konversi hutan alam yang diatur dalam Remedy Framework.
Persetujuan mosi 37/2021 sudah mendapat sinyal positif karena Board of Decision (BoD) FSC sudah menyetujui PfA dan PAC dan secara parsial Remedy Framework serta Procedure for Disclosure. Jika mosi ini disetujui, maka akan makin banyak pelaku usaha kehutanan di Indonesia yang bisa berasosiasi dan mendapat sertifikat FSC. Ini juga berarti akan makin banyak pelaku usaha kehutanan yang bisa berkontribusi pada kebijakan perbaikan tata kelola hutan seperti kebijakan FSC.
Meski demikian, rintangan ini masih menemui ketidaksetujuan oleh sejumlah anggota yang masih ‘berkutat pada masa lalu’. Mereka yang mengambil posisi berseberangan sudah mengajukan mosi 45/2021 yang juga akan dibahas dan di-vote di Bali.
Posisi terakhir, pengaju mosi 45/2021 menyatakan sudah merevisi mosi dan menjadikannya sebagai pelengkap keputusan BoD dan Mosi 37/2021 khususnya penyempurnaan Remedy Framework. Namun, masih ada kekhawatiran usulan penyempurnaan Remedy Framework seperti diajukan mosi 45/2021 pada akhirnya membuat implementasi mosi 37/2021 mengendap entah sampai kapan.
Untuk kesetaraan dan dukungan terhadap pengelolaan lestari yang lebih optimal, Kadin dan pelaku usaha kehutanan di Indonesia berharap agar mosi 37/2021 dapat disetujui dan mosi 45/2021 tidak dilanjutkan. Lolosnya Mosi 37/2021 secara penuh berarti makin banyak pihak yang bisa terlibat dan saling bekerja sama untuk mendorong keberlanjutan dalam pengelolaan hutan, sesuatu yang sangat Kadin dorong karena sesuai dengan platform yang inklusif dan kolaboratif.