Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan sebagian besar wilayah kerja dengan cadangan gas besar belum juga memegang kontrak perjanjian jual beli gas bumi atau gas sales agreement (GSA) di tengah pasokan gas domestik yang berlebihan pada tahun ini.
Sekretaris SKK Migas Taslim Z. Yunus mengatakan situasi itu belakangan menyebabkan sejumlah lapangan gas potensial justru terlantar atau ditunda pengembangannya lantaran belum jelasnya GSA dengan pembeli potensial.
“Energi kita masih menggunakan minyak terbesar sehingga lapangan gas kita banyak yang stranded seperti di Natuna, Bintuni punya Genting Oil lalu ada di Sumatra Barat dan beberapa tempat lain termasuk yang besar di Masela belum ada gas sales agreement-nya,” kata Taslim dalam Webinar Dunia Energi, Selasa (27/9/2022).
Selain konsumsi energi domestik yang mayoritas dari minyak mentah, Taslim mengatakan, serapan gas dari industri hilir dan rumah tangga belum cukup optimal hingga saat ini. Konsekuensinya, 30 persen produksi gas domestik yang berlebih itu dijual ke luar negeri.
Di sisi lain, SKK Migas melaporkan lebih dari 50 persen penemuan sumur eksplorasi dalam sepuluh tahun terakhir berupa gas. Adapun 70 persen rencana pengembangan lapangan atau plant of development (PoD) berasal dari pengembangan lapangan gas.
“Gas kita reserved replacement ratio tiga tahun terakhir sudah di atas 100 persen artinya kita surplus, sementara kebutuhan domestik ini masih belum menggeliat kita berharap makin banyak juga konsumsi dalam negerinya,” ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) melaporkan beberapa rencana pengembangan lapangan gas mesti ditunda lantaran sejumlah blok belum mendapatkan calon pembeli untuk produksi mereka.
Direktur Aspermigas Moshe Rizal mengatakan situasi itu terjadi lantaran pertumbuhan konsumsi gas domestik cenderung lamban ketimbang volume pasokan hingga menyebabkan surplus diperkirakan semakin lebar.
“Memang benar, untuk produksi gas itu sebelum mereka produksi mereka harus sudah ada pembelinya dulu, kalau pembeli belum siap atau belum ada pasti produksinya ditunda,” kata Moshe saat dihubungi, Senin (20/8/2022).
Sementara itu, kata Moshe, produk gas yang dikemas dalam bentuk liquified natural gas (LNG) untuk pasar ekspor cenderung tidak kompetitif. Alasannya, biaya pokok produksi LNG di dalam negeri relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan pasar luar negeri.
Dengan demikian, dia berharap, pemerintah dapat mengoptimalkan pembangunan infrastruktur gas yang masif untuk dapat menyerap potensi surplus gas yang makin lebar 10 tahun ke depan.
“Infrastrukturnya banyak yang belum terbangun karena itu permintaan gas dalam negeri untuk natural gas itu belum maksimal, jadi produsen-produsen gas ini bingung jual ke domestik,” ungkapnya.