Bisnis.com, JAKARTA - Aktivitas produksi sejumlah raksasa Eropa tertekan selama berbulan-bulan karena kelangkaan gas menjelang musim dingin tahun ini. Harga yang terlampau tinggi membuat perusahaan tidak mampu membelinya.
"Ini bukan masalah mematikan operasi. Harganya, biayanya yang jadi masalah," ungkap Chief Executive Officer Traton SE Christian Levin. Perusahaan ini bergerak di bidang pembuatan unit truk untuk Volkswagen AG, dilansir Bloomberg pada Sabtu (24/9/2022).
Perusahaan di Eropa harus membayar tujuh kali lipat dibandingkan di AS untuk mendapatkan gas. Hal ini memperlihatkan krisis daya saing pada industri di benua itu sehingga dapat membahayakan ekonomi.
Dengan makin agresifnya Presiden Vladimir Putin meningkatkan serangannya ke Ukraina, sinyal kembalinya aliran gas ke Benua Biru makin tidak kecil.
Salah satu pertanda yang paling kentara, ekonomi terbesar di Uni Eropa, Jerman, mencatatkan penurunan surplus dagang seiring dengan tingginya biaya impor energi yang mengalahkan ekspor mobil dan mesin, serta perusahaan kimia yang mulai mengalihkan produksinya ke luar negeri.
Pada bulan lalu, harga produksi Jerman melonjak ke level rekor sebesar 46 persen. Contohnya, produsen plastik Covestro AG yang tidak akan meningkatkan investasinya di Eropa dan mulai membidik Asia.
Chief Executive Officer Covestro Markus Steilemann mengatakan perusahaan dapat mengamankan energi di harga 20 kali lebih murah daripada di Jerman dan pasar spot Jerman.
Produsen otomotif terbesar di Jerman, Volkswagen, telah memperingatkan pada Kamis bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk merelokasi fasilitas produksinya di luar Jerman atau di Eropa Timur jika harga energi tidak kunjung melandai.
Kanselir Olaf Scholz akan mengunjungi sejumlah perusahaan di Timur Tengah pada pekan ini sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan gas alam cair dengan Arab Saudi dan Qatar guna menggantikan pemangkasan aliran gas dari Rusia.
Namun, negosiasi terkait hal ini agak sulit, dengan pasokan gas termasuk Qatar yang sedang super hati-hati terhadap harga dan jangka waktu kontrak.
Sementara diskusi di Eropa dan Amerika Utara juga tidak kalah sulit, menggarisbawahi perjuangan berat yang dihadapi Scholz dalam mengamankan pasokan dengan harga yang akan membuat basis ekonomi Jerman tetap kompetitif.
Covestro memperkirakan biaya bahan bakar akan mencapai puncaknya hingga 2 miliar euro (US$2,2 miliar pada 2022, hampir empat kali lipat dari tahun 2020.
"Pada tingkatan harga saat ini, industri Jerman yang membutuhkan banyak energi tidak lagi berdaya saing secara global," kata juru bicara Covestro.
Pasalnya, kata dia impor produk kimia dari AS atau China lebih murah daripada memproduksinya secara lokal.
Pabrikan termasuk Volkswagen dan BMW AG terpaksa beralih dari gas ke minyak atau batu bara agar operasional tetap berjalan. Namun beberapa manufaktur padat energi seperti logam, kertas, dan keramik, tidak bisa melakukannya sehingga makin banyak pabrik yang tutup.
Raksasa kimia BASF SE bahkan lebih memilih mengimpor bahan-bahan utama seperti amonia dari pesaing. Adapun Mercedes-Benz AG mulai menggenjot produksi suku cadang utama untuk mobil agar bisa mengamankan pasokan ketika harus menutup pabrik di Jerman.
Christian Seyfert, Direktur Pelaksana VIK, sebuah grup yang mewakili perusahaan padat energi, mengatakan lonjakan harga energi menjadi beban yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada inti perekonomian Eropa.
“Kami sangat menyarankan para politisi agar mengambil tindakan tegas agar Jerman dan Eropa sebagai lokasi bisnis tidak sepenuhnya tertinggal secara internasional.”