Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Batu Bara Acuan (HBA) Tidak Sesuai Pasar, Pengusaha Minta Pemerintah Hapus Indeks NEX dan Newcastle

HBA yang berlaku saat ini dinilai membuat pelaku usaha mesti membayar kewajiban kepada negara dengan angka yang lebih tinggi dari harga patokan batu bara (HPB).
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (14/1/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (14/1/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha tambang dan niaga batu bara belakangan meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk merevisi aturan terkait dengan formulasi indeks pembentuk harga batu bara acuan (HBA) yang dianggap tidak lagi memperlihatkan harga riil di pasar.

HBA yang berlaku saat ini dinilai membuat pelaku usaha mesti membayar kewajiban kepada negara dengan angka yang lebih tinggi dari harga patokan batu bara (HPB) dalam perdagangan komoditas di Indonesia.

“Keberanian menghapus NEX dan Newcastle, jelas akan mendekatkan HPB dari HBA pada pasar riil. Tapi saya yakin tidak mudah bagi pemerintah dengan potensi PNBP yang diterima selama ini. Apalagi target PNBP telah ditentukan dan menjadi target pemerintah,” kata Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo saat dihubungi, Kamis (1/9/2022).

Sebagai eksportir batu bara terbesar dunia saat ini, Singgih mengatakan, pemerintah mesti segera merumuskan suatu panel independen untuk menetapkan harga dagang batu bara domestik tersebut. Dia mengusulkan pemerintah membentuk Indonesia Goverment Coal Index.

Sejumlah asosiasi tambang dan niaga batu bara mengeluhkan harga riil atau kontrak di pasar tidak lagi sesuai dengan harga patokan batu bara (HPB) atas HBA, khususnya selama siklus komoditas dua tahun terakhir.

“Importir batu bara besar seperti China dan India sangat wajar tidak mau menerima HPB mengingat kenaikan harga, khususnya akibat invasi Rusia ke Ukraina, lebih pada batubara dengan kalori di atas 6.000 kcal per kilogram (ar),” kata dia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan formulasi pembentukan HBA saat ini berdampak pada pembayaran kewajiban pengusaha untuk negara yang lebih besar dari transaksi komoditas tersebut.

Dia mengkhawatirkan formulasi itu justru akan menekan industri batu bara dalam negeri seiring dengan booming harga emas hitam itu yang masih berlanjut hingga pertengahan tahun ini.

“Indeks yang merepresentasikan batu bara Australia sudah tidak terkoneksi dengan indeks batu bara Indonesia, pengusaha akhirnya membayar kewajiban ke negara lebih tinggi,” tuturnya.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat harga batu bara acuan (HBA) September 2022 turun ke angka US$319,22 per ton atau terkontraksi 0,74 persen dari posisi bulan lalu.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan penurunan HBA itu disebabkan karena susutnya nilai rerata indeks bulanan penyusun HBA. Misalkan, Agung mencontohkan, ICI turun 4,95 persen, Platts turun 4,54 persen sementara GNCC dan NEX naik masing-masing 1,60 persen dan 1,39 persen.

“Peningkatan produksi batu bara Tiongkok dalam upaya mengatasi krisis listrik yang diakibatkan oleh gelombang panas dan kekeringan yang melanda PLTA-nya juga turut menjadi faktor turunnya harga batu bara dunia," kata Agung melalui siaran pers, Kamis (1/9/2022).

Selain itu, Agung menambahkan, faktor lain yang turut memengaruhi turunnya HBA itu berkaitan dengan upaya China untuk terus meningkatkan impor batu bara dari Rusia dan Australia.

"Ini menjadi salah satu penyebab index NEX dan GCNC trendnya masih terus naik,” kata dia.

Adapun pergerakan HBA sejak awal 2022 sempat menyentuh nilai tertinggi pada bulan Juni, di mana HBA terkerek hingga menyentuh angka US$323,91 per ton. Faktor kondisi geopolitik Eropa imbas konflik Rusia - Ukraina dan krisis listrik di India akibat gelombang hawa panas menjadi faktor pengerek utama.

Setelahnya HBA cenderung fluktuatif mengalami kenaikan dan penurunan. HBA Juli ada di angka US$319,00 per ton dan Agustus lalu sebesar US$321,59 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper