Bisnis.com, JAKARTA - Belum hilang dalam ingatan atas dampak krisis energi China pada 2021 yang dilanjutkan dengan pergolakan perdagangan akibat invasi Rusia ke Ukraina, perekonomian dunia kembali dibuat bersiaga dengan ketegangan antara Taiwan dan China.
Reaksi pemerintah Negeri Tirai Bambu dengan menembakkan sejumlah peluru kendali ke wilayah perairan Taiwan sebaiknya ditangkap sebagai sinyal bahwa Tiongkok tidak memandang kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat yang merupakan musabab ketegangan ini sebagai hal yang biasa. Dan, sudah barang tentu bahwa apapun yang terjadi di negara dengan industri terbesar di dunia sekaligus perekonomian terbesar di Asia akan memberikan dampak serius ke negara lain, tak terkecuali Indonesia.
Mengutip dari laman portal daring Bisnis Indonesia, Menteri Perindustrian telah menyiapkan sejumlah persiapan untuk menghadapi dampak tersebut. Pemerintah menyatakan akan mempercepat proses investasi di kawasan industri. Selain itu, calon pengelola kawasan industri akan mendapatkan pendampingan, serta mendapatkan fasilitas nonfiskal seperti pengamanan sebagaimana objek vital nasional dan objek tertentu. Namun pertanyaannya, apakah cukup bila kita hanya mempersiapkan kebijakan untuk pelaku baru industri? Tidakkah lebih baik jika kita juga memperkuat ketahanan dan daya saing industri yang telah ada?
Mari kita mengambil contoh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang telah eksis di Tanah Air sejak dekade 1970-an dan mencapai masa kejayaannya pada 1990-an. Sempat dicap sebagai sunset industry saat krisis ekonomi Asia 1998, industri ini justru membuktikan daya tahan yang cukup mengesankan hingga saat ini. Industri ini tumbuh 12,45 persen pada kuartal pertama 2022 berkat topangan konsumsi dalam negeri. Dari sisi ekspor, hingga paruh kedua 2022, TPT mencatatkan surplus neraca perdagangan lebih dari US$4 miliar.
Selain itu, statistik asosiasi menunjukkan pemulihan pascatekanan pandemi gelombang I dan II, di mana pada 2021 industri ini berkontribusi atas penyerapan hampir 3,7 juta tenaga kerja dibanding 3,43 juta pada 2020 dan realisasi investasi yang juga melompat dari US$6,1 juta pada 2020 menjadi US$6,45 juta pada 2021. Kinerja mengesankan ini didukung oleh implementasi program substitusi impor dengan target hingga 35 persen dan mulai adanya kesadaran bahwa pentingnya reintegrasi industri.
Berdasarkan data empiris kinerja TPT, kita dapat melihat tren di mana setiap perekonomian global mengalami guncangan, industri dalam negeri siap menampung kebutuhan perindustrian dan perdagangan nasional. Namun, dalam keadaan biasa, industri dalam negeri justru kerap kali terkontraksi akibat praktik impor yang tidak berkeadilan. Posisi industri nasional sebagai bumper ini harus segera dibalikkan, di mana industri menjadi mainstay dan impor menjadi cadangan.
Terdapat beberapa alasan mengapa sektor TPT bisa dijadikan sebagai quick-wins pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Pertama, infrastruktur sudah terbangun dari hulu bahan baku hingga hilir (garmen dan retail).
Kedua, Indonesia merupakan rumah dari dua bahan baku terpenting industri TPT, yakni polyester dan rayon di mana kapasitas yang tersedia sudah dalam level swasembada hingga 2025.
Ketiga, negara masih dalam fase menikmati bonus demografi di mana 60 persen populasi Indonesia berusia rerata 29 tahun dengan konsumsi tekstil per kapita masih 7,5–8 kg per orang per tahun (masih di bawah level konsumsi Negeri Jiran Malaysia yang sudah melewati 12 kg per orang per tahun).
Keempat, posisi geopolitik yang berada di jantung Asia Tenggara juga strategis untuk memosisikan Indonesia sebagai pusat manufaktur regional.
Serta kelima, Indonesia memiliki kekayaan budaya adibusana leluhur beragam yang masih menjadi daya tarik generasi muda.
Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, selain memberi kemudahan investasi baru, terdapat sejumlah usulan yang bisa dipertimbangkan pemerintah untuk memperkuat kekokohan industri TPT nasional.
Pertama, untuk menjaga momentum pemulihan, pemenuhan konsumsi dalam negeri seyogyanya dioptimalkan berasal dari industri lokal.
Kedua, memastikan bahwa aktivitas perdagangan berkeadilan dan terkendali, di mana Indonesia perlu mencegah agar tidak hanya dijadikan destinasi ekspor bagi negara dengan produksi yang berlebihan. Sejumlah peraturan telah tersedia, tetapi diperlukan upaya ekstra agar implementasinya dapat dipantau dengan baik.
Ketiga, untuk produk berbasis poliester, diperlukan upaya reintegrasi industri TPT ke hulu hingga tersambung dengan industri pengilangan petrokimia, sehingga Indonesia akan memiliki rantai industri komplet dari kilang hingga garmen.
Keempat, ekspansi penerapan tingkat kandungan dalam negeri bukan hanya untuk pengadaan pemerintah, tetapi juga untuk perdagangan umum dan ekspor. Serta kelima, insentif ekspor untuk produk bernilai tambah dengan acuan perhitungan jumlah tahapan konversi di dalam negeri.
Setiap krisis pasti membawa peluang yang bisa dimanfaatkan. Kali ini, kembali, kita dapat membuktikan bahwa Indonesia adalah produsen yang berpengaruh di kawasan, dan tidak sebatas destinasi perdagangan.