Bisnis.com, JAKARTA- Pengajuan proses revisi PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dinilai minim keterlibatan publik.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan uji publik pada akhir Juli tahun ini oleh pemerintah dilakukan tanpa ada komunikasi terlebih dahulu dengan pelaku IHT.
“Semestinya uji publik kami memberi masukan, tapi karena sebelumnya tidak pernah diajak berdiskusi, jadi secara prosedural kami tidak tahu apapun terkait prosesnya," kata Budidoyo, Kamis (11/8/2022).
Terkait dengan upaya revisi PP No. 109/2012, pelaku industri tembakau sendiri terang-terangan menolak. Selain berdampak negatif terhadap industri, tren prevalensi perokok anak menjadi pertimbangan lain.
Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (SUSENAS KOR), prevalensi perokok anak di Indonesia terus menurun selama periode 2018 hingga 2021.
Prevalensi perokok anak dilaporkan turun dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 3,87 persen pada 2019. Penurunan berlanjut pada 2020 menjadi 3,81 persen, dan terakhir berada di angka 3,69 persen pada 2021.
Perlu diketahui, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebelumnya mengajukan izin prakarsa revisi PP No. 109/2012 pada Mei 2021,dilanjutkan dengan rapat klarifikasi oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) pada Juni 2021.
Pada November 2021, izin prakarsa dari Kemenkes tersebur dikembalikan. Sebab, proses revisi PP No. 109/2012 memerlukan pengkajian lebih komprehensif bersama kementerian/lembaga terkait, serta melibatkan partisipasi publik.
Setelah ditolak Kemensetneg pada akhir tahun lalu, Kemenkes bakal kembali mengajukan izin prakarsa revisi PP No. 109/2012.
Belum lama ini, Deputi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan dokumen revisi beleid tersebut berada di Kemenkes.
Sekadar informasi, revisi PP No. 109/2012 memuat 5 poin utama. Pertama, pembesaran pictorial health warning (PHW) dari 40 persen menjadi 90 persen.
Kedua, larangan penjualan rokok eceran. Ketiga, pengaturan iklan di media sosial (digital). Keempat, pengaturan rokok elektronik. Kelima, terkait dengan pengawasan.