Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta membatalkan tarif Taman Nasional atau TN Komodo khusus di Pulau Komodo dan Padar sebesar Rp3,75 juta yang kini jadi polemik. Pasalnya, kenaikan tarif yang tadinya Rp150.000 dengan dalih konservasi dinilai hanya akal-akalan demi komersialisasi.
Guru Besar Pariwisata Universitas Trisakti Azril Azhari mengatakan konsep konservasi berbeda dengan komersialisasi. Sebab, pelaksanaan konservasi adalah tugas pemerintah yang dibiayai oleh pajak dari masyarakat.
“Tidak ada hubungannya kenaikan tiket dengan konservasi. Tarif ini malah didukung pemerintah. Tidak masuk akal. Industri hasil hutan kan untuk konservasi itu pajaknya, hasil perikanan juga itu masuknya ke pemerintah. Ini jadi lucu, dinaikkan jadi RP3,75 juta,” ujar Azril saat dihubungi Bisnis, Selasa (2/8/2022).
Dia menuturkan, apabila pemerintah mau melakukan konservasi terhadap Pulau Komodo, sebaiknya kunjungan wisata ke pulau hewan purbakala itu sekalian saja dilarang.
“Ini tuh, oke boleh lihat tapi harus bayar mahal. Bukan itu. Konservasi itu gak ada kaitannya dengan itu. Cukup dilarang saja orang. Jadi harus dibatalin ini [aturan tiket masuk],” tutur Azril.
Selain itu, dia menyayangkan kenaikan tarif tersebut didukung oleh Presiden Jokowi. Padahal, Jokowi sempat membatalkan tarif masuk ke Candi Borobodur sebesar Rp75.000 yang juga menuai pro kontra.
“Saya padahal senang ketika Presiden bilang kenaikan tarif Borobudur dibatalkan. Tapi ini diulangi lagi. Jadi tidak bisa komersial dikaitkan dengan konservasi. Kita ini tidak paham pariwisata,” tuturnya.
Azril mengatakan konsep pariwisata harus berkelanjutan atau sustainable tourism. Menurutnya, kepentingan wisata tidak boleh merusak kelestarian lingkungan, baik floranya, faunanya, dan juga masyarakat sekitar.
Dia mencontohkan kepentingan pariwisata yang justru merusak lingkungan dan mendehumanisasikan rakyatnya adalah Sirkuit Mandalika.
“Kayak Mandalika itu dikritik UNWTO [Organisasi Pariwisata Dunia] karena memindahkan rakyat segala macam untuk bikin sirkuit. Kayak juga ini buat besar-besaran untuk investor aja. Investor saja yang kaya,” tuturnya.
Menurutnya, Indonesia harus belajar dari kasus tersebut dan juga kasus Pulau Sipadan dan Ligitan beberapa tahun lalu. “Makanya dulu Pulau Sipadan dan Ligitan lepas, karena Malaysia menjaga terumbu karangnya,” jelas Azril.
Jika tujuannya konservasi, Azril meminta agar pemerintah memperhatikan prinsip-prinsip ekowisata atau ecotourism. Untuk Pulau Komodo, kata dia, harus terlebih dulu dibuat dulu zonasi.
“Ini ada tiga pulau. Kalau yang utama [konservasi Komodo], jangan ada orang asingnya, biar komodonya beranak pinak. Jadi zonasi keduanya baru ada wisatawan. Buat saja zonasi agar daerah penyangganya boleh dikunjungi, tapi tempat konservasinya jangan. Cukup pake teropong kalo bisa [untuk melihat Komodo],” paparnya.
Kemudian, lanjut Azriel, konservasi harus harus mempertimbangkan kondisi pulau tersebut sesuai kemampuan pulau tersebut atau pysical carier capacity sehingga jumlah kunjungan tidak mengganggu aktivitas hewan yang sedang dikonservasi.
“Katakanlah sekian pulau sekian ratus per orang. Jadi harus secara ilmiah, bahkan per jamnya berapa. Jika sudah melebihi, setop. Alarm merah. Sebab nanti bisa terbalik, maunya kita nonton komodo ini malah komodo nonton kita karena kebanyakan,” ungkapnya.