Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengungkapkan sejumlah tantangan sektor perumahan khususnya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Terlebih, di tengah backlog rumah yang tinggi yakni mencapai 12,75 juta hunian.
Ketua Umum Apersi Junaidi Abdillah menuturkan saat ini kondisi pembangunan rumah subsidi untuk MBR masih terkendala beberapa hal antara lain patokan harga rumah dari pemerintah yang belum dinaikkan sejak 2 tahun lalu membuat pengembang terganggu bisnisnya.
Selain itu, bahan bangunan utama seperti besi serta semen sudah mengalami kenaikan sejak tahun lalu. Kenaikannya juga cukup siginifikan.
“Jangan sampai pengembang bisa jualan namun tak bisa memproduksi lagi, karena marginnya sangat tipis. Idealnya kenaikan itu tiap tahunnya sebesar 7 persen,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (27/7/2022).
Hambatan lainnya yakni aturan soal lahan sawah dilindungi (LSD) membuat pengembang kesulitan mencari lahan untuk pengembangan proyeknya.
LSD saat ini mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah mengalami perubahan dan tidak menggunakan RTRW yang baru.
“Padahal LSD itu sebetulnya tidak harus bertentangan dengan RTRW yang sudah ada. Peta yang dipakai oleh Kementerian ATR/BPN pun menggunakan peta yang sudah lama, sehingga RTRW yang terbaru tidak digunakan,” katanya.
Hal ini menyebabkan tumpang tindih, dan banyak tanah-tanah yang tadinya sudah ada permukiman sampai sekarang tidak bisa melakukan balik nama karena terganjal oleh LSD.
“Hal itu menjadi kendala bagi teman-teman pengembang yang sudah membebaskan lahan sejak lama, dan bahkan masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, rencana merger PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk dan Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk juga akan berdampak pada pembangunan hunian MBR terutama program sejuta rumah.
“Jangan mencaplok bank yang sudah berjalan dengan baik. Selain itu, perlu diingat bahwa pembangunan perumahan adalah satu penggerak ekonomi adalah pengembang karena sektor properti melibatkan tenaga padat karya,” tutur Junaidi.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) La Nyalla Mahmud Mattalitti menuturkan sektor properti dan perbankan merupakan dua sektor yang tak terpisahkan.
Kedua industri ini menjadi andalan dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Menurutnya, seperti perbankan khususnya bank fokus perumahan seperti BTN menjadi harapan untuk memacu pemulihan ekonomi nasional dari sektor properti khususnya perumahan.
Terlebih pengalaman BTN yang membidani kelahiran kelahiran pola pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) menandakan kapasitas dan track record yang sangat panjang dalam mengurusi perumahan.
“Hingga kini dibuktikan, BTN selalu menjadi yang terdepan dalam penyaluran kredit rumah subsidi untuk MBR, begitu juga dengan BTN Syariah-nya,” ujarnya.
Rencana merger Bank BSI dan BTN ini berdampak terganggunya sektor properti.
Dia menilai seharusnya BTN Syariah diperkuat sebagai penyalur KPR FLPP bersubsidi berbasis syariah sehingga bisa memperluas kinerjanya.
“Dengan istilah disatukan atau merger akan melemahkan positioning BTN Syariah sebagai bank yang fokus dalam penyaluran pembiayaan perumahan berbasis syariah, mengingat BSI tidak memiliki fokus dan pengalaman di bidang pembiayaan perumahan,” ucapnya.