Bisnis.com, JAKARTA - Harian Bisnis (19/7) merilis berita bahwa Bank Indonesia (BI) menjual surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Lewat mekanisme transaksi langsung, BI melego SBN senilai Rp390 miliar. Jual-beli SBN bagi bank sentral merupakan hal yang lumrah sebagai bagian dari operasi moneter.
Kendati demikian, terlepas pula dari nilainya yang relatif kecil, penjualan SBN itu tetap menarik untuk disimak. Penjualan SBN itu merupakan kali pertama bagi BI sejak pagebluk Covid-19 merebak di Tanah Air pada awal Maret 2020. Skema pembiayaan bersama (burden sharing) antara BI dan pemerintah justru mengamanatkan BI untuk membeli SBN di pasar perdana guna mendanai APBN.
Skema pembiayaan bersama yang diikuti dengan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) menyuntik likuiditas lebih dari Rp1.000 triliun di pasar keuangan domestik. Kedua kebijakan BI itu pula yang membuat suku bunga acuan bisa turun 150 basis poin menjadi 3,5 persen, level terendah dalam sejarah. Momen penjualan SBN juga sinkron dengan kebijakan makroprudensial.
Hasil RDG (Rapat Dewan Gubernur) periode Mei 2022 toh sudah memutuskan kenaikan agresif rasio GWM (giro wajib minimum) perbankan menjadi 9 persen per 1 Juli dan 12 persen berlaku per September. Lebih lanjut, timing penjualan SBN sejatinya lebih cepat dari rencana semula. Skema pembiayaan bersama kelar di tahun ini. Oleh karenanya, BI akan melepas kepemilikan SBN paling cepat pada awal tahun depan. Artinya, skenario normalisasi moneter serius diinisiasi BI dari aspek likuiditas.
Penjualan SBN yang dipegang BI juga menjadi salah satu dari instrumen trisula intervensi (triple intervention) di pasar valuta asing. Guna meredam gejolak kurs, BI memiliki piranti intervensi valuta asing di pasar spot dan juga di pasar DNDF (domestic non deliverable forward) disesuaikan dengan kondisi.
Dengan alur logika ini, penjualan SBN akan menyerap aliran dana dari pasar keuangan ke BI. Jika pembeli SBN yang dijual BI adalah pihak asing, aliran valuta asing akan masuk sehingga menambah cadangan devisa. Ketersediaan cadangan devisa akan menghambat tren depresiasi rupiah.
Baca Juga
Jika pembeli SBN adalah pemain lokal, aliran rupiah akan masuk ke BI. Kelebihan likuiditas pemilik dana untuk meracik ulang portofolio ke dalam mata uang asing akan tertahan. Pada gilirannya, penjualan SBN oleh BI perlahan akan mengangkat pula imbal hasil (yield) SBN.
Sampai di sini, BI berupaya mendayagunakan semua instrumen yang dimiliki untuk stabilisasi. Sementara kebijakan moneter lewat suku bunga acuan diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Rendahnya suku bunga acuan dan bertahan selama 18 bulan seolah menjadi justifikasi yang valid.
Dalam konteks ini pula, BI hendak mengirim sinyal konsistensi. Toh BI sudah menegaskan kebijakan suku bunga acuan sangat tergantung pada inflasi ke depan, terutama besaran komponen inflasi inti (core inflation). Suku bunga acuan akan naik jika ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti yang bersifat permanen.
Apabila inflasi inti terkendali, penjualan SBN dapat mengulur waktu bagi BI untuk menahan lebih lama suku bunga acuannya. Kenaikan suku bunga acuan tampaknya dihindari mengingat potensi efek destabilisasi yang ditimbukan dapat menihilkan tujuan kebijakan makroekonomi lainnya. Kenaikan suku bunga acuan akan berimbas, misalnya, pada tingginya beban bunga utang yang dipikul pemerintah.
Dengan konfigurasi problematika di atas, ekses likuiditas di sistem keuangan yang dipicu dari pelonggaran kuantitatif akan terus dikurangi. Penjualan SBN ke depan niscaya akan lebih banyak lagi sesuai tensi kebutuhan normalisasi likuiditas Rupiah serta ‘normalisasi’ neraca keuangan internal BI.
Pada saat yang bersamaan, otoritas fiskal tengah menikmati kenaikan penerimaan yang signifikan. Pemberlakuan Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) berhasil mengerek penerimaan perpajakan, khususnya dari pos PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPh (pajak penghasilan).
Pundi-pundi negara juga menggemuk lantaran kenaikan harga komoditas unggulan di pasar global dan hasil PPS (Program Pengungkapan Sukarela).
Kenyataan di atas melambungkan optimisme pemerintah untuk mengurangi pembiayaan lewat penerbitan SBN setidaknya Rp216 triliun (Bisnis, 1/7).
Penyesuaian ulang APBN 2022 juga telah memperluas cakupan subsidi pemerintah. Kesemuanya ini mampu menjaga inflasi inti di level 2,63 persen pada Juni, di bawah titik tengah kisaran target BI, yakni 3 persen +/- 1 persen, bahkan ketika inflasi utama naik ke level tertinggi dalam 5 tahun di 4,35 persen.
Kesempatan inilah yang hendak dimanfaatkan BI untuk ‘mengisi’ pasokan SBN ke pasar. Intinya, BI berada di jalur rencana keluar (exit strategy), yakni menaikkan rasio GWM, menstabilkan nilai tukar untuk meredam inflasi terimpor, dan normalisasi likuiditas di pasar uang dan pasar SBN.
Alhasil, bauran kebijakan (policy mix) diikhtiarkan penuh untuk memitigasi risiko dari turbulensi eksternal dan internal. Penjualan SBN hanya sehari sebelum RDG sudah dengan sendirinya menjadi jurus anyar saat kenaikan suku bunga acuan masih diposisikan sebagai amunisi terakhir.
Dengan kata lain, dalam jangka sangat pendek, sulit mengharapkan suku bunga acuan akan naik. Bukan begitu?