Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Konsumsi Diklaim Membaik, Setoran PPN Masih 'Ngos-ngosan'

Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mencatat, dalam implementasi awal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, pungutan pajak atas konsumsi masyarakat mencatatkan penambahan sebesar Rp4,2 triliun per bulan. Angka ini jauh dari estimasi awal.
Konsumen di satu gerai supermarket di Purwokerto, Minggu (28/7). /BISNIS.COM
Konsumen di satu gerai supermarket di Purwokerto, Minggu (28/7). /BISNIS.COM

Bisnis.com, JAKARTA — Realisasi penambahan setoran negara dari kenaikan tarif pajak atas konsumsi masyarakat nyatanya masih jauh dari estimasi pemerintah, meskipun belanja rumah tangga digadang-gadang telah membaik seiring pelonggaran aktivitas.

Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mencatat, dalam implementasi awal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, pungutan pajak atas konsumsi masyarakat mencatatkan penambahan sebesar Rp4,2 triliun per bulan.

Artinya, sepanjang tahun ini potensi penambahan pajak yang dipungut oleh pemerintah dari tarif baru PPN hanya senilai Rp37,8 triliun. Angka tersebut dihitung dengan mengalikan asumsi penambahan senilai Rp4,2 triliun selama sembilan bulan, atau selama periode April—Desember 2022.

Namun, angka itu berada jauh di bawah penghitungan awal pemerintah yang mencatat potensi penambahan penerimaan PPN dari kenaikan tarif mencapai Rp55 triliun.

Prediksi yang disampaikan Kementerian Keuangan itu mengacu pada persentase kenaikan tarif yakni dari 10 persen menjadi 11 persen atau meningkat sebesar 10 persen. Adapun, realisasi penerimaan PPN pada tahun lalu tercatat mencapai Rp550,97 triliun.

Artinya, dengan asumsi tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun ini tak berbeda jauh dibandingkan dengan tahun lalu maka potensi penambahan penerimaan PPN dari kenaikan tarif itu mencapai Rp55 triliun atau 10 persen dari realisasi pada tahun lalu.

Sebagai catatan, data BPS menunjukkan konsumsi masyarakat tercatat tumbuh 4,34 persen pada kuartal I/2022 dibandingkan kuartal pertama tahun sebelumnya (year on year/yoy).

Capaian ini lebih baik dibanding kuartal I/2021 yang masih mengalami kontraksi sebesar 2,21% (yoy).

Secara teori, penerimaan PPN umumnya berasal dari impor dan konsumsi di dalam negeri. Ketika penerimaan PPN turun, secara otomatis objek pajak yang ditransaksikan juga melorot. Demikian pula sebaliknya.

Sejalan dengan itu, kenaikan tarif akan otomatis mengangkat penerimaan negara. Hanya saja, pajak yang dipungut berpeluang besar tidak sesuai dengan estimasi awal pemerintah.

Hal itu tecermin dari realisasi setoran PPN pada bulan pertama diterapkannya tarif baru yang memang cukup menjulang, yakni mencapai Rp61,97 triliun, tertinggi setidaknya sepanjang tahun berjalan 2022.

Akan tetapi sepanjang Mei lalu atau bulan kedua pengenaan tarif baru, setoran PPN terpangkas 11,25 persen menjadi hanya Rp55,7 triliun.

Kondisi ini mencerminkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat kembali terpukul akibat kebijakan pajak tersebut.

“Konsumsi dalam negeri bergeser ke transaksi barang kebutuhan pokok yang mendapat pembebasan PPN, sehingga berdampak ke penerimaan,” kata Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono kepada Bisnis, pekan lalu.

Tak bisa dimungkiri, gagalnya pencapaian target penambahan penerimaan PPN dari hitung-hitungan awal tak lepas dari banyaknya fasilitas pengecualian yang diakomodasi pemerintah dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Di sisi lain, tarif tinggi memang menjadi cangkul baru bagi pemerintah untuk menggali potensi penerimaan. Namun yang perlu diingat adalah, ada sejumlah faktor kunci lain yang amat memengaruhi kinerja PPN.

Pertama perkembangan ekonomi di Indonesia yang menggambarkan aktivitas bisnis dan kemampuan ekonomis masyarakat. Musababnya, PPN merupakan jenis pajak yang terikat erat dengan konsumsi masyarakat.

Artinya, ketika konsumsi masyarakat terganggu maka penerimaan PPN bisa dipastikan juga mengalami masalah.

Korelasi atas hal ini telah terlihat saat tahun pertama pandemi Covid-19, ketika pembatasan mobilitas masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah menggembosi penerimaan PPN cukup dalam.

Kedua, penerimaan PPN juga akan dipengaruhi oleh kegiatan ekspor impor, laju inflasi, dan jumlah pengusaha kena pajak (PKP). Faktor-faktor itu sejatinya juga tidak lepas dari pengaruh kondisi ekonomi secara keseluruhan.

“Dari faktor-faktor tersebut penerimaan PPN & PPnBM sepertinya bisa mencapai target dalam APBN 2022,” kata Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto.

Sekadar informasi, target PPN di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 ditetapkan senilai Rp554,38 triiun, naik tipis yakni 0,62 persen dibandingkan dengan realisasi 2021.

Adapun, pemerintah telah merevisi postur anggaran melalui APBN Perubahan 2022 yang mengatrol angka sasaran PPN menjadi Rp638,99 triliun atau melejit hingga 15,98 persen dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu.

Inilah kemudian yang menjadi pekerjaan berat bagi otoritas fiskal. Terlebih, kebijakan menaikkan tarif PPN amat berdampak pada penggerusan daya beli masyarakat di tengah ancaman lesatan inflasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Tegar Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper