Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ternyata Ini Penyebab Rasio Penerimaan PPN Indonesia Rendah

Rasio penerimaan PPN berpotensi tumbuh menjadi 61,29 persen pada tahun ini, naik dari 59,65 persen pada 2021. Kenaikan itu sejalan dengan asumsi bahwa konsumsi swasta akan tumbuh 5 persen.
Ternyata Ini Penyebab Rasio Penerimaan PPN Indonesia Rendah. /Bisnis-Triawanda Tirta Aditya
Ternyata Ini Penyebab Rasio Penerimaan PPN Indonesia Rendah. /Bisnis-Triawanda Tirta Aditya

Bisnis.com, JAKARTA — Rasio penerimaan PPN atau value added tax gross collection ratio Indonesia masih berada pada level 59,65 persen. Meskipun tahun ini dapat naik ke 61 persen, jumlahnya terbilang kecil karena potensi penerimaan PPN yang tak terkumpul mencapai sekitar 40 persen.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan bahwa rasio penerimaan PPN berpotensi tumbuh menjadi 61,29 persen pada tahun ini, naik dari 59,65 persen pada 2021. Kenaikan itu sejalan dengan asumsi bahwa konsumsi swasta akan tumbuh 5 persen.

Meskipun begitu, Fajry menyebut bahwa angka tersebut masih relatif rendah. Konsumsi merupakan penyumbang terbesar bagi PDB Indonesia, tetapi perolehan pajak pertambahan nilai (PPN) dari konsumsi baru sekitar 60 persen, atau terdapat 40 persen potensi yang tidak berhasil terkumpul.

"Kenapa VAT gross collection ratio masih rendah? Kita ini negara agraris, sektor pertanian kita besar. Seperti kita ketahui, sektor pertanian masih mendapatkan fasilitas PPN, dan lebih lanjut, kalau kita buka data BPS, banyak sektor pertanian dan perkebunan dikelola oleh pengusaha perorangan," ujar Fajry kepada Bisnis, Senin (20/6/2022).

Menurutnya, sektor pertanian dan usaha non-formal kerap sulit ditarik pajaknya, sehingga potensi PPN yang tidak terkumpul besar jumlahnya. Selain itu, Fajry menyebut bahwa regulasi ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) turut berpengaruh, karena usaha di bawah Rp4,8 miliar tidak perlu menjadi pemungut PPN.

"Sektor non-formal maupun usaha kecil dan menengah kontribusinya besar. Jadi, karena regulasi ambang batas PKP yang terlalu tinggi, banyak potensi penerimaan yang tidak dapat digali oleh pemerintah, di samping banyak usaha yang secara teknis memang sulit untuk dikenai PPN," kata Fajry.

Adapun, CITA menilai bahwa penerimaan pajak dari konsumsi pada tahun ini berpotensi meningkat setelah berlakunya kenaikan tarif PPN. Pertumbuhan konsumsi masyarakat pun menyuburkan potensi penerimaan PPN tahun ini.

"Dari hitung-hitungan kami di awal, potensi penerimaan dari kenaikan tarif PPN berkisar Rp42 triliun. Dengan penambahan penerimaan setelah satu bulan sebesar Rp4 triliun, saya rasa penambahan penerimaan dalam tahun ini tak akan jauh dari estimasi kami di awal," ujar Fajry.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyebut bahwa dalam bulan pertama pemberlakuan kenaikan tarif PPN, pihaknya telah memperoleh tambahan penerimaan Rp4,2 triliun dari pajak konsumsi. Hal tersebut mendasari perhitungan CITA mengenai potensi penambahan pajak tahun ini.

Kenaikan tarif PPN berlaku selama sembilan bulan pada tahun ini. Artinya, dengan asumsi penambahan Rp4,2 triliun setiap bulannya, terdapat potensi penambahan PPN setidaknya Rp37,8 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper