Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi Kepmen ESDM Nomor 58.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Harga Jual Batu Bara Untuk Pemenuhan Kebutuhan Industri Dalam Negeri ternyata belum berjalan dengan baik.
Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam (BGNL) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Wiwiek Pudjiastuti menyebut pasokan batu bara sesuai dengan harga yang disepakati dalam beleid tersebut masih sulit dilakukan.
"Berdasarkan laporan dari Asosiasi Semen Indonesia [ASI], untuk mendapatkan pasokan batu bara sesuai dengan harga yang disepakati dalam Kepmen ESDM tersebut masih sulit dilakukan," kata Wiwiek kepada Bisnis, Rabu (22/6/2022).
Dia mencatat, setidaknya terdapat lima kendala yang muncul dalam proses implementasinya. Pertama, tidak ada respons/tanggapan setelah dikirimi surat maupun dikontak oleh pelaku industri terkait.
Kedua, biaya produksi batu bara lebih tinggi dibandingkan harga yang tercantum dalam Kepmen ESDM Nomor 58.K/HK.02/MEM.B/2022, yakni US$90 per metrik ton.
Ketiga, kuota domestic market obligation (DMO) sudah terpenuhi. Keempat, pasokan batu bara yang tersedia tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Kelima, informasi tentang pemasok tidak jelas.
Sebelumnya, Kemenperin mencatat total kebutuhan batu bara untuk industri semen pada 2022 yakni 16,66 juta ton, naik dari tahun lalu hanya 4,45 juta ton.
Di antara sejumlah industri pengolahan non migas pengguna batu bara, semen menjadi sektor dengan kebutuhan yang paling banyak.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, rencana kebutuhan batu bara di sektor lain pada tahun ini yakni pupuk 1,46 juta ton, semen 15,02 juta ton, tekstil 1 juta ton, kertas 1,4 juta ton, industri kimia lainnya 1,63 juta ton, dan hilirisasi batu bara 0,7 juta ton.