Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Di Tengah Gejolak Inflasi, Pengamat Sarankan BI Tahan Suku Bunga Acuan

Saran tersebut datang lantaran perekonomian di Indonesia dinilai belum pulih, sehingga kenaikan suku bunga tersebut dapat memperlambat pemulihan ekonomi.
Pengamat menyarankan Bank Indonesia menahan suku bunga acuan  pada level 3,5 persen. /Bisnis-Abdullah Azzam
Pengamat menyarankan Bank Indonesia menahan suku bunga acuan pada level 3,5 persen. /Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute  Achmad Nur Hidayat menyarankan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen.

Saran tersebut datang lantaran perekonomian di Indonesia belum pulih, sehingga kenaikan suku bunga tersebut dapat menjadi pengganjal laju dunia usaha.

Meskipun diakui Achmad akan ada dampak turunan apabila BI tak menaikkan suku bunga, namun menurutnya berapapun tinggi suku bunga yang ditawarkan, ada faktor ketidakpastian di depan mata yang menyebabkan investor menahan uangnya masuk ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.

"Tentunya yang akan terjadi kedepan adalah trennya akan terjadi pembalikkan capital itu ke Amerika yang disebabkan oleh membaiknya ekonomi Amerika karena Amerika akan menjaga supaya indeks dolar AS naik terus," kata dia melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/6/2022).

Dengan begitu, kata Achmad, mereka tak akan mempermasalahkan inflasi dalam negeri tinggi.

"Selama indeks dolarnya menguat maka AS masih bisa beli barang murah dari luar negeri. Hal ini tentunya akan membuat rakyat Amerika tidak menderita," jelas dia.

Achmad mengungkapkan, hal tersebut disengaja oleh pemerintah AS melalui kerja sama antara Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen yang merupakan mantan personil the FED dengan Gubernur the FED yang saat ini menjabat.

Menurut dia, keduanya berkolaborasi untuk menciptakan situasi lingkungan yang membuat dolar menguat.

Dengan demikian tidak perlu ada rasa takut lantaran semua negara mengalami capital outflow.

"Menaikan suku bunga setinggi apapun seperti di Turki dan Argentina yang meningkatkan hingga 300 bps, tapi tidak bisa menjaga capital outflow itu terjadi, arus keluar modal itu akan terus terjadi," tegas dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper