Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hindari Tren Suku Bunga Tinggi di Tanah Air, Pinjaman Luar Negeri Korporasi Marak Lagi

Utang luar negeri korporasi tercatat mencapai US$210,2 miliar per April 2022, tumbuh rendah 0,03 persen (year-on-year/YoY). Jumlah itu naik dari posisi Maret 2022 yang sempat terkontraksi 1,6 persen (YoY).
Karyawan menunjukan dolar AS di Jakarta, Rabu (25/11/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan dolar AS di Jakarta, Rabu (25/11/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menilai bahwa tren suku bunga yang tinggi secara global mendorong pelaku usaha melakukan pinjaman ke luar negeri, karena adanya potensi kenaikan di dalam negeri. Risiko pelemahan rupiah turut menjadi penyebabnya.

Utang luar negeri korporasi tercatat mencapai US$210,2 miliar per April 2022, tumbuh 0,03 persen (year-on-year/YoY). Jumlah itu naik dari posisi Maret 2022 yang sempat terkontraksi 1,6 persen (YoY).

Kenaikan utang luar negeri tercatat berasal dari perusahaan bukan lembaga keuangan (non financial corporations) yang tumbuh 0,5 persen (YoY). Posisi itu pun berbalik positif dari Maret 2022 yang terkontraksi 0,7 persen (YoY).

Menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, perusahaan bukan lembaga keuangan seperti yang bergerak di sektor riil sempat terkendala usahanya akibat pandemi Covid-19. Kini ketika terjadi pemulihan ekonomi, mereka kembali mencari modal untuk meningkatkan usahanya.

Meskipun saat ini terdapat kenaikan inflasi dan gonjang-ganjing perekonomian global, menurutnya, utang luar negeri bisa jadi lebih menarik. Tauhid menyebut setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya.

"Pertama, bisa jadi mereka tertarik [meminjam ke luar negeri] karena tingkat bunga di luar lebih rendah," ujar Tauhid kepada Bisnis, Kamis (16/6/2022).

Hal tersebut berkaitan dengan alasan kedua, yakni adanya kecenderungan suku bunga di dalam negeri akan naik sebagai respons atas kondisi inflasi. Menurut Tauhid, pelaku usaha akan memanfaatkan momentum tersebut untuk meminjam ke luar negeri.

Ketiga, pada dasarnya pelaku usaha menghindari risiko lebih tinggi jika mereka meminjam dari dalam negeri, yakni depresiasi nilai tukar. Menurut Tauhid, dalam beberapa bulan terakhir terjadi depresiasi, yang berpotensi masih berlanjut.

"Selebihnya, kalau kita lihat sebenarnya mereka sudah punya relasi yang cukup lama dengan lembaga dari luar, jadi itu meneruskan bisnis yang kemarin sempat terhenti. Bukan baru meminjam dari luar, tetapi lebih kepada historical mereka yang memang debitur dari lembaga-lembaga yang ada di luar. Mereka bukan pemain baru lah untuk melakukan peminjaman," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper