Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menekankan pentingnya bauran kebijakan dalam mengendalikan inflasi. Langkah ini perlu dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.
"Pengendalian tingkat inflasi tidak dapat hanya mengandalkan salah satu kebijakan dari satu sisi, perlu ada bauran kebijakan dalam mengendalikan dan memitigasi risiko tantangan inflasi di 2022," tulis Indef dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (16/6/2022).
Menurut mereka, kebijakan pengendalian harga-harga dari sisi moneter perlu didukung oleh kebijakan pengelolaan keuangan negara yang tepat sasaran dan efisien. Dukungan ongkos pembiayaan yang murah juga diperlukan guna meningkatkan produktivitas ekonomi.
Kemudian dalam mengendalikan inflasi, diperlukan kerja sama global. Indef menuturkan, pengelolaan beban utang akibat peningkatan suku bunga acuan, perlu ditingkatkan. Langkah ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Di lain sisi, dukungan terhadap pembiayaan juga perlu dilakukan.
"Mitigasi risiko capital outflow terutama di negeri-negara emerging market serta penyediaan likuiditas tambahan seperti melalui komitmen Special Drawing Rights (SDR) US$100 miliar sebagaimana yang akan dibahas dalam G20 International Financial Architecture Working Group (IFA WG) esok hari di Bali perlu dilakukan," jelas mereka.
Tak kalah penting, menurut Indef, yakni upaya menurunkan eskalasi ketegangan geopolitik di tingkat global. Hal tersebut perlu didorong agar dapat menekan peningkatan harga energi dan harga komoditas lainnya.
Lembaga-lembaga internasional baru-baru ini mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global di April 2022. Selain IMF, Bank Dunia juga mengoreksi pertumbuhan ekonomi global ke level yang lebih rendah, yaitu dari 4,1 persen menjadi 3,2 persen.
Ini dilakukan lantaran melihat perkembangan inflasi yang terus meningkat di sebagian besar negara dengan kontribusi ekonomi yang besar di tingkat global.
Meningkatnya harga sumber energi dan harga komoditas lainnya sejak akhir 2021 telah memicu peningkatan inflasi global. Kondisi ini kian diperparah dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina.
"Inflasi yang tinggi menekan pertumbuhan ekonomi dan menghambat pemulihan ekonomi. Peningkatan inflasi yang terus menerus dapat menghantam sisi konsumsi rumah tangga dengan berkurangnya nilai riil dari uang yang mereka pegang," jelas Indef.
Menurut mereka, respon kebijakan moneter untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan pada akhirnya akan memukul investasi, khususnya FDI ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan aset yang aman seperti US$.
Terlebih, peningkatan suku bunga berarti kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi karena biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar. Sementara itu, peningkatan inflasi membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran yang negatif. Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan juga pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Akibatnya, negara-negara berkembang dan menengah ke bawah bakal menjadi korban utama dari naiknya biaya pembiayaan ini.
"Utang mereka akan semakin membengkak yang membuat mereka semakin rentan terhadap guncangan ekonomi. Di sini lah mungkin isu pengurangan atau bahkan pengampunan utang bagi negara-negara berkembang ini patut kita pertimbangkan," kata mereka.
Indef Bagikan 'Resep' Pengendalian Inflasi Agar Pertumbuhan Ekonomi Terjaga
Selain IMF, Bank Dunia juga mengoreksi pertumbuhan ekonomi global ke level yang lebih rendah, yaitu dari 4,1 persen menjadi 3,2 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Ni Luh Anggela
Editor : Hadijah Alaydrus
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
1 jam yang lalu
Industri Petrokimia Menanti Momentum Pemulihan Tekstil
7 jam yang lalu