Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang Indonesia (Kadin) mengatakan pemerintah perlu berupaya terus untuk mendorong investasi, khususnya dari sektor infrastruktur. Hal itu merespons langkah pemerintah yang menurunkan target investasi 2023 dari Rp1.800 triliun - Rp1.900 triliun menjadi Rp1.250 triliun - Rp1.400 triliun akibat situasi global saat ini.
Kadin menyebut investasi dapat digenjot di sektor infrastruktur khususnya yang terkait dengan konektivitas fisik maupun digital dan infrastruktur energi, baik dari pembangkit hingga penyalurannya. Sebab, dampak tetesan ke bawahnya lebih besar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Wakil Ketua III Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan sektor-sektor infrastruktur dan energi tersebut juga akan lebih realistis digarap di tengah upaya pemerintah yang juga serius dalam pemindahan Ibu Kota Negara.
“Untuk sektor usaha yang dikejar (untuk investasi) sebetulnya semua sektor bisa dikejar selama iklim investasinya dan daya saing investasi di sektornya memadai. Namun, sektor infrastruktur tersebut lebih tinggi dibandingkan di kawasan karena trickledown economic impact-nya akan positif dalam jangka panjang dan dalam jangka pendek juga sangat menstimulasi kegiatan ekonomi nasional,” ujar Shinta kepada Bisnis, Minggu (12/6/2022).
Dengan kondisi itu, Shinta mengatakan reformasi struktural lewat Undang-undang Cipta Kerja perlu terus ditingkatkan. Khususnya yang bisa meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor-sektor ekonomi yang mempengaruhi komponen biaya usaha universal seperti energi, suku bunga, logistik, dll.
“Kami rasa strategi-strategi ini sangat penting karena kita tidak akan bisa bersaing tanpa ada peningkatan efisiensi komponen biaya usaha di dalam negeri dan peningkatan keterbukaan ekonomi,” ujar Shinta.
Baca Juga
Dikatakannya keterbukaan ekonomi ini juga sebaiknya bukan hanya masalah pembatasan investasi (market access) investasi atau masalah kemudahan perijinan, tetapi juga terkait kebijakan-kebijakan yang sifatnya perlu dipersingkat agar lebih efisien dan transparan.
Selain itu, kata Shinta, juga perlu melibatkan fasilitasi investasi yang lebih intens dan spesifik seperti fasilitasi investasi untuk berkolaborasi dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pembenahan rantai pasok domestik untuk meningkatkan minat investasi di dalam negeri.
Menurut Shinta, pemerintah menurunkan target investasi kemungkinan besar karena kondisi iklim ekonomi global yang tidak mendukung terhadap pertumbuhan investasi di negara berkembang secara ambisius.
“Selain itu, saya rasa pemerintah juga menyadari bahwa target investasi Rp1.800 triliun adalah target yang sangat ambisius dalam perkembangan kondisi tersebut, khususnya ketika UU Cipta Kerja masih tersandera perubahan karena putusan MK dan defisit fiskal nasional juga tidak bisa lagi selebar 2,5 tahun terakhir sehingga tidak bisa memberikan banyak stimulus untuk investasi di sektor riil,” pungkasnya.