Bisnis.com, JAKARTA – Chandra Rambey berangkat ke Bandung dan kemudian ke Jakarta untuk ikut terlibat dalam perencanaan ibu kota baru Republik Indonesia.
Sebagai Direktur PT Provalindo Nusa, perusahaan konsultan, Chandra, kelahiran 1 September 1970, membantu pemerintah sebagai salah satu konsultan yang merencanakan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Provalindo Nusa juga menjadi konsultan, termasuk secara parsial, sejumlah BUMN papan atas seperti PT Pertamina, PT Kimia Farma, PT Kereta Api Indonesia, PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Holding, PTPN 5, PT Pos Indonesia, PT Pegadaian, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT PP, PT Adhi Karya, PT Taspen, dan Wika Realty.
Perusahaan konsultan pimpinan Chandra juga dipercaya menjadi salah satu konsultan Bank Dunia di Indonesia dengan Mott MacDonald Indonesia sebagai leader konsultan. Dalam hal ini, Provalindo Nusa menggarap jasa konsultansi aspek propertinya.
Klien Provalindo lainnya di antaranya Lippo Group, Mayapada Healthcare, Indah Kiat, dan Dana Pensiun (Dapen) Telkom.
Berangkat sebagai anak desa di Sumatra Utara ke Pulau Jawa selepas menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Padangsidimpuan pada 1995, dia kemudian berkuliah di Universitas Parahyangan di Bandung, Jawa Barat.
Selesai kuliah, dia merantau ke Ibu Kota dan beruntung dapat bergabung dengan perusahaan penilai kondang PT Satyatama Graha Tara (SGT) yang dikomandani oleh “bapak penilai” Indonesia Doli D. Siregar.
Semasa bergabung di SGT inilah, Chandra menimba ilmu di Universitas Teknologi Malaysia di Johor Bahru dan merengkuh gelar Master Property Management & Valuation, yang mengubah perjalanan Chandra dari semula terbatas di bidang ilmu teknik sipil menjadi jjuga menguasai bidang finansial dan penilaian.
Chandra kemudian sempat pula bergabung dengan salah satu konsultan ternama yaitu PT Master Builder Technology Indonesia, anak perusahaan Master Builders Solutions AB yang bermarkas di Swedia.
Semasa di SGT, Chandra merasakan pengalaman yang sangat berarti dengan ikut terlibat dalam menangani aset-aset yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yaitu untuk aset kreditur dengan nilai di bawah Rp50 miliar.
Menurut dia, keterlibatan dalam menangani aset-aset yang dikelola BPPN itu memberinya pengalaman penting dalam perjalanan kariernya.
Selepas dari bertugas di Master Builder Technology Indonesia, Chandra, yang kini juga menjabat Wakil Ketua Bidang Riset dan Hubungan Luar Negeri DPD REI DKI Jakarta, mengakuisisi Provalindo Nusa.
Dia menjelaskan perbedaan konsultan Indonesia dan konsultan asing adalah pada sistem. Dalam pandangannya, konsultan asing memiliki sistem yang lebih mapan, sehingga orang pun mengenalnya sebagai perusahaan. Berbeda dengan konsultan Indonesia yang cenderung melekat dengan tokoh di perusahaan bersangkutan.
Chandra menyatakan ingin membangun sistem yang kuat di Provalindo Nusa sehingga sistemlah yang bekerja dan perusahaan itu “benar-benar menjadi konsultan”.
“Meski tantangannya berat, kami mulai membangun sistem itu. Kalau melekat kepada orang, kalau orangnya pergi, bisnisnya bisa turun, bahkan perusahaan itu terancam jadi hidup segan mati tak mau,” tuturnya.
Berbeda dengan perusahaan konsultan asing yang masyarakat internasional hanya mengenal brand-nya, bukan melekat pada orangnya, meski sebenarnya perusahaan itu diberi nama sesuai dengan pendirinya.
Kalau brand melekat pada perusahaannya, menurut Chandra, kalau tokohnya suatu ketika kelak tidak dapat lagi mengerjakan tugas-tugas konsultansi, berkat sistem yang kuat tersedia orang-orang yang siap untuk menanganinya sehingga proses bisnis tetap berjalan dengan baik.
Dia mengemukakan bahwa sistem di umumnya perusahaan konsultan di Indonesia belum sekuat asing. Oleh karena itu, kita perlu mengambil atau belajar dari asing mengenai sistemnya. “Selain itu, harus memperkuat tim supaya dihargai orang.”
Mengenai kondisi di Provalindo sendiri, Chandra mengakui sistem yang sudah terbangun belum mencapai 50% dari yang ideal yang dikehendakinya. Terkait dengan ini, Provalindo sedang men-develop digitalisasi cara kerja.
Kalau menerapkan digitalisasi, konsultan akan tertinggal dan mati. Konsultan dahulu merasa cukup dengan membangun sumber daya manusia, sekarang tidak cukup hanya itu, melainkan harus mampu membangun sistem yang terdigitalisasi.
Chandra mengaku merujuk pada sistem yang dibangun oleh konsultan kelas dunia McKinsey & Company, yang menurutnya telah menjalankan sistem yang sangat digital. Perusahaan itu membangun sumber daya manusianya di India, China, dan Singapura. “Oleh karena itu, ahli-ahli mereka yang ke Indonesia kebanyakan dari India, bukan bule.”
Perubahan di Properti
Mengenai bidang garapan Provalindo pada saat ini, Chandra mengakui bahwa sekitar 70 persen berkaitan dengan bidang properti. Namun, dia menegaskan untuk ke depannya Provalindo akan memperbanyak bidang garapan di luar properti.
Tentang bisnis properti sendiri, terdapat perubahan besar yang harus diadaptasi oleh kalangan pengembang dan juga pengelola properti
Dia memberi contoh mengenai bisnis properti subsektor perkantoran yang mengalami perubahan besar bukan hanya karena pandemi Covid-19 mendorong lebih banyak karyawan bekerja dari luar kantor termasuk work from home (WFH), melainkan juga karena digitalisasi yang semakin menjadi.
Akibatnya, kebutuhan space terutama perkantoran pasti berkurang. Gaya hidup masyarakat dalam bekerja berubah. Sekarang mereka bekerja di kafe-kafe.
Faktor pendorong pola kerja semacam itu bukan hanya pandemi, melainkan juga disebabkan oleh adanya faktor-faktor efisiensi, kecepatan kerja, peningkatan teknologi, yang membuat kualitas produk kita jadi naik. Kalau kualitas produk meningkat, bekerja dari mana saja dengan sendirinya bukan merupakan persoalan.
Menurut Chandra, ada pula faktor kecenderungan milenial ingin memperbaiki kualitas hidup. Kalau dulu, karyawan sejak pagi sudah berangkat ke kantor. Sekarang pada era teknologi, survei menunjukkan di Eropa, bahkan juga di Indonesia juga sama karena kita becermin ke Eropa.
Milenial lebih senang gaji lebih kecil asalkan dekat dengan tempat tinggalnya dan nyaman daripada gaji lebih besar tetapi jauh dari tempatnya bermukim, walaupun biaya perjalanannya ditanjggung perusahaan. Jadi, motifnya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup.
Dengan perkembangan seperti itu, properti komersial harus sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan bisnis dan harus beradaptasi terhadap perkembangan atau permintaan pasar.
Pelaku bisnis properti dalam perkembangan sekarang harus meredefinisi bisnis model mereka dari kondisi sebelum pandemi. Namun intinya, ke depan orang tidak lagi sering berkumpul dan bertemu secara fisik. Berkumpul memang tetap ada, tetapi dikurangi karena terdapat fasilitas lain.
Seiring dengan hal itu, kata Chandra, kue jasa konsultansi di bisnis properti berpotensi menyusut. Di sisi lain ada bisnis lain yang menantang juga, misalnya crude palm oil (CPO), yang memerlukan jasa konsultansi. Oleh karena itulah, Chandra ingin memperluas bidang garapan Provalindo dan tidak terlalu didominasi oleh properti.
Meski demikian, bukan berarti garapan jasa konsultansi bidang properti bakal ditinggalkan, karena Chandra melihat ada subsektor real estat yang justru berkembang di tengah pandemi seperti logistik dan kawasan industri. Jadi, makna properti kini tidak lagi terbatas pada perumahan atau perkantoran.
Sebenarnya, dalam pandangan Chandra, perubahan teknologi seperti sejak dahulu sudah terjadi, tetapi pandemi Covid-19 membuat prosesnya semakin cepat. “Zaman dulu, kita menunggu di kantornya untuk rapat. Kemudian berkembang ada telepon ada faks, janjiannya menjadi lebih mudah. Lama-lama ada internet. Sekarang kalau meeting-nya tidak terlalu mendesak, cukup lewat zoom.”
Dengan cara itu, dalam sehari kalau dulu hanya bisa menjalani dua rapat dalam sehari dan harus membuang waktu di jalan, juga harus ada biaya seperti parkir dan lain-lain, sekarang bisa melaksanakan empat atau lima rapat dalam sehari. Dengan kondisi itu, ruang yang diperlukan untuk bekerja tidak lagi dibutuhkan dalam skala besar.
Chandra lantas bicara mengenai sosok Provalindo Nusa pada masa mendatang. Mengacu pada McKinsey sebagai idolanya, dia menyatakan tidak ingin perusahaan itu sekadar menjadi advisor dan business consultant, tetapi menjalankan fungsi solution.
“Kalau dulu, kita bikin kajiannya, klien mau eksekusi atau nggak, itu urusan dia. Setelah itu advise, dia pengen lebih dalam, lebih detail, action plan-nya ada, ke depan solusinya apa. Solusi itu kita masuk ke dalam manajemen mereka, outsource sebenarnya, tetapi expertise outsource.”
“Jadi, owner itu berpikir sudah deh, saya sudah invest segini, sudah bikin ini, tapi kayaknya nggak berkembang, kalau konsultan masuk bagaimana bisa berkembang, nah, sekarang peran konsultan sudah seperti itu,” paparnya.
Sekarang Provalindo dalam proses melangkah dari tahap kedua menuju tahap ketiga, artinya menuju peran sebagai solution. Mari kita ikut menyimak perkembangan dan realisasinya.
Dia juga menegaskan kembali keinginannya untuk mengurangi dominasi jasa konsultansi dari aspek properti serta memperkuat sistem agar Provalindo tak hanya melekat dengan dirinya, sebagaimana perusahaan-perusahaan kenamaan luar negeri.