Bisnis.com, JAKARTA - Langkah pemerintah menghapus subsidi minyak goreng (migor) curah diprediksi akan membuat harga tandan buah segar (TBS) sawit makin anjlok dan merugikan petani. Pasalnya, produsen nantinya bakal membebankan ke proses hulu untuk menekan harga migor sesuai harga eceran tertinggi (HET) yaitu Rp14.000 per liter.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan saat ini harga migor komersial di pasar domestik diasumsikan sekitar Rp20.000 per liter, sedangkan di pasar internasional sekitar Rp23.000 hingga Rp25.000 per liter. Dalam kalkulasinya, jika pemerintah ingin migor ke level HET yaitu Rp14.000 per liter, caranya yaitu dengan mensubsidi pemasok setidaknya Rp7.000 per liter ditambah biaya tranportasi.
Jika tidak disubsidi, berarti pabrik migor dipaksa menjual migor curah di bawah Rp 14.000 per liter, misalnya Rp12.000 per liter dengan asumsi biaya transportasi dan margin pelaku atau pengecer misalnya Rp2.000 per liter, sehingga saat ke konsumen bisa ke level HET Rp14.000/liter.
Dengan begitu, pabrik migor menanggung beban Rp8.000 per liter, hasil dari Rp20.000 (harga migor komersil) dikurangi Rp12.000 (migor curah) sama dengan Rp8.000 per liter.
“Nah jika ini yang terjadi, maka pabrik migor akan mengalihkan beban tersebut ke produsen CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) dengan cara menekan harga CPO dan selanjutnya produsen CPO mengalihkan beban tersebut ke produsen TBS dengan menekan harga pembelian TBS (tandan buah segar sawit) oleh pabrik kelapa sawit (PKS),” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (26/5/2022).
Pada akhirnya, lanjut Tungkot, yang menanggung adalah petani sawit. Jadi dengan DMO dan DPO tersebut tanpa subsidi, maka petani sawitlah yang menanggung subsidi migor curah dalam bentuk discount harga TBS petani.
Baca Juga
Lebih lanjut, Tungkot memprediksi peluang migor numpuk di gudang distributor juga sangat besar. Sehingga dengan disparitas harga yang begitu besar, potensial terjadi penyeludupan ke luar negeri dan atau konversi migor curah menjadi minyak kemasan sederhana.
“Migor curah HET dibeli Rp 14000/liter dan dikonversi menjadi migor kemasan sederhana jual dengan harga Rp22.000 per liter, potensial terjadi bukan? Ini perlu diantisipasi pemerintah,” jelasnya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan pihaknya lebih memilih untuk menaikkan pungutan ekspor dibanding dengan kebijakan DMO dan DPO.
“Kami sebenarnya inginnya simple, dengan pungutan ekspor dinaikkan,” ucap Sekretaris Jenderal Gapki kepada Bisnis, Kamis (26/5/2022). Kemudian, program subsidi harusnya diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara dan Bulog selaku penyalur migor.
“Yang disubsidi jangan pengusaha tetapi BUMN misal BULOG, RNI dan lain lain,” imbuhnya.
Meski demikian, Eddy menuturkan Gapki tetap akan mematuhi kebijakan DMO dan DPO untuk migor curah.
“Kami pelaku usaha tetap mendukung kebijakan pemerintah agar berjalan dengan baik dan masalah migor curah ini dapat segera teratasi,” ungkapnya.
Adapun terkait efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 dan 33 untuk menyelesaikan krisis migor curah, Eddy mengaku belum bisa menilai terkait kebijakan tersebut, lantaran peraturan turunan belum ada.
“Di dalam Permendag 33 ada yang diatur di peraturan direktorat jenderal atau perdirjen dan itu belum ada, sebaiknya tunggu itu dulu baru tahu aturan detailnya seperti apa,” jelasnya.