Bisnis.com, JAKARTA - Bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed akhirnya mengumumkan kebijakan kenaikan suku bunga 50 basis poin usai rapat FOMC, Kamis (5/5/2022) dini hari waktu Indonesia.
Kebijakan tersebut akan membuat kisaran target untuk suku bunga dana federal mencapai 0,75% hingga 1%, dibandingkan kisaran sebelumnya yang berada pada rentang 0,25% hingga 0,5%.
Berdasarkan catatan Bloomberg, ini merupaka kenaikan paling agresif yang pernah dilakukan The Fed sejak tahun 2000. The Fed mengatakan bahwa kenaikan ini terpaksa ditempuh demi menetralisir kondisi inflasi AS.
"Inflasi sudah terlalu tinggi. Kami memahami dampak yang ditimbulkan, dan kami bergerak secepat mungkin untuk membuatnya turun lagi," tutur Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pernyataan resminya.
Sebagai konteks, pada Maret 2022 kenaikan year on year (yoy) inflasi AS telah mencapai 8,4 persen atau rekor tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Tepatnya sejak Desember 1981.
Sebagai upaya lanjutan, selain kenaikan suku bunga The Fed juga berencana menyusutkan neraca gemuk mereka yang sudah menyentuh US$9 triliun mulai 1 Juni 2022 mendatang.
Progres akan dimulai secara bertahap. Tepatnya pada batas US$30 miliar per bulan dalam bentuk treasuries dan US$17,5 miliar per bulan dalam bentuk sekuritas berbasis hipotek pada Juni-Agustus 2022.
Kemudian, pada September batasnya akan dinaikkan menjadi maksimal US$60 miliar per bulan untuk treasuries dan US$35 miliar per bulan untuk sekuritas berbasis hipotek.
Sebagai konteks, sebelumnya sempat muncul kekhawatiran jika suku bunga dinaikkan lebih agresif hingga kisaran 75 basis poin.
Dalam pernyataan resmi, The Fed menyiratkan jika langkah lebih agresif tersebut tidak jadi ditempuh mengingat sejumlah indikator di luar inflasi masih menunjukkan secercah harapan.
"Peningkatan lapangan kerja sangat pesat dalam beberapa bulan terakhir, dan tingkat pengangguran telah turun secara substansial."
Sebenarnya, kenaikan suku bunga 50 basis poin yang akhirnya ditempuh The Fed sejalan dengan konsensus analis dalam beberapa hari belakangan.
Akan tetapi, sejumlah pakar menyatakan bahwa kesesuaian tersebut tidak lantas menghapus potensi risiko yang ada. Termasuk kemungkinan dampaknya terhadap peluang resesi Negeri Paman Sam tahun depan.
"Ini tetap langkah yang cepat, dan sudah sepantasnya membuat konsumer dan pelaku pasar lebih berhati-hati," ujar asisten profesor keuangan Columbia Business School Yiming Ma.
The Fed pun seolah tidak berkilah dari peringatan para pakar tersebut. Dalam pernyataan resmi, mereka membenarkan bahwa saat ini masih ada banyak ketidakapastian.
Dampak perang yang melibatkan Rusia-Ukraina diakui menimbulkan tekanan bagi perekonomian AS. Disamping itu, The Fed juga enggan menutup mata terhadap potensi kedatangan gelombang pandemi susulan seiring kembali terjadinya penularan wabah di China.
"Invasi dan kejadian-kejadian terkait menyebabkan tekanan lanjutan terhadap inflasi dan tampaknya memperberat aktivitas ekonomi."