Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Federal Reserve Jerome Powell mengatakan perang Rusia dengan Ukraina memperparah adanya tekanan inflasi yang diikuti dengan kenaikan harga pada makanan, energi, dan komoditas lainnya.
Dilansir Bloomberg pada Selasa (22/3/2022), menurut Powell, bank sentral AS biasanya akan memantau adanya kejadian seperti kejutan kenaikan harga komoditas dalam menentukan kebijakan.
Namun, dengan kondisi inflasi yang sudah sangat tinggi saat ini, keputusan moneter tidak perlu alasan khusus.
"Risiko meningkat bahwa periode inflasi tinggi yang panjang dapat mendorong ekspektasi jangka panjang lebih tinggi secara tidak nyaman, yang menggarisbawahi perlunya komite untuk bergerak cepat seperti yang telah saya jelaskan," katanya dalam dalam sebuah pidato di acara National Association for Business Economics pada Senin.
Powell mengatakan perekonomian sangat kuat dan berada di posisi yang baik untuk mengatasi kenaikan suku bunga.
Pejabat The Fed memprediksi pertumbuhan ekonomi mencapai 2,8 persen pada tahun ini. Namun, invasi Rusia telah mengganggu prospek ini.
Adapun pembicaraan mengenai rencana pengurangan neraca keuangan senilai US$8,9 triliun masih berlangsung, kata para pembuat kebijakan.
"[Pengurangan neraca] mungkin dilakukan setelah pertemuan kami berikutnya pada Mei, meskipun itu bukan keputusan yang telah kami buat," ungkap Powell.
Pembuat kebijakan moneter tidak akan lagi sekedar memperhitungkan membaiknya kemacetan rantai pasok dan akan fokus melihat kondisi yang sebenarnya pada inflasi sebagai acuan untuk memutuskan soal suku bunga.
Kendati demikian, Powell masih optimistis bahwa perekonomian akan mendarat dengan halus seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.
"Apa yang dikatakan [Powell] adalah 'saya akan mengambil risiko memutar ekonomi untuk menurunkan inflasi sepenuhnya.' Pekerjaannya jadi lebih mudah karena tekanan politik mendukung kenaikan suku bunga” kata Kepala Penelitian Kebijakan Global Piper Sandler & Co. Roberto Perli.