Sesuai dengan Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, per 1 April 2022 akan efektif berlaku ketentuan pajak karbon (carbon tax). Penerapan pajak karbon di Indonesia sebenarnya merupakan bagian dari ekosistem Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing. Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan UU No. 7/2021, pemerintah juga menerbitkan Perpres No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Skema yang dipergunakan dalam NEK adalah cap, trade & tax (CTT) yang merupakan gabungan antara batas maksimal emisi (cap), perdagangan (trade) dan pajak (tax). Dengan skema CTT, setiap entitas diizinkan mengemisi pada batas tertentu (cap). Namun, bila entitas mengemisi melebihi cap, dia harus membeli sertifikat izin emisi dari entitas yang mengemisi di bawah cap. Bila tidak, entitas tersebut akan dikenakan pajak karbon.
Melalui kebijakan NEK, pemerintah sebenarnya ingin mendorong terwujudnya perdagangan karbon yang lebih aktif. Hal ini terlihat dari besarnya tarif pajak yang ditetapkan lebih tinggi atau paling sedikit sama dengan harga karbon di pasar karbon (Pasal 13 Ayat 8). Melalui penetapan tarif tinggi, pemerintah ingin mendorong agar target emisi karbon dicapai melalui pendekatan pasar.
Harapannya, mekanisme ini akan menciptakan lapangan usaha baru dari perdagangan karbon. Lapangan usaha tersebut adalah aktivitas ekonomi hijau (green economy), kontributor pengurang emisi karbon.
Melalui NEK, pelaku ekonomi hijau yang sebelumnya dianggap volunteer, kini memiliki nilai moneter dan memiliki pasar. Pemerintah secara tidak langsung ingin menciptakan insentif agar makin banyak pelaku dalam kegiatan ekonomi hijau. Sedangkan pajak karbon diharapkan menjadi “langkah sisa” yang akan ditempuh, misalnya karena pasar karbon belum tersedia memadai.
Penerapan pajak karbon telah ditetapkan melalui UU. Karenanya, pelaksanaannya perlu dipersiapkan dengan baik. Belajar dari kegagalan pajak karbon di Australia pada 2012—2014, penyebabnya adalah karena terlalu represif. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menurun dan tarif energi meningkat. Walaupun awalnya meningkatkan penerimaan negara, penerapan pajak karbon justru memperburuk anggaran negara berupa defisit dan peningkatan utang publik (Ragimun, 2021).
Berdasarkan Pasal 17 Ayat (3) UU No. 7/2021, yang pertama kali dikenakan pajak karbon adalah badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Dalam hal ini, PLN dan pemilik PLTU swasta akan menjadi pihak yang terdampak. Bila mengacu Pasal 13 Ayat (5) UU No. 7/2021, PLN berpotensi akan menanggung pajak karbon dari dua jalur. Pertama, membeli barang yang mengandung karbon (batu bara). Kedua, melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pertanyaannya: apakah pada tahap awal ini PLN akan menanggung kedua jenis pajak karbon ini?
Kelistrikan merupakan sektor esensial bagi perekonomian. Ketahanan PLN juga perlu diperhitungkan. Terlebih, PLN sedang menghadapi banyak tantangan seperti demand listrik yang belum pulih, kontrak take or pay, volatilitas pasokan dan harga batu bara, serta tarif listrik yang sulit naik. Kondisi ini tentu akan memberikan tekanan terhadap finansial PLN.
Sesuai tahapannya, pajak karbon akan diberlakukan secara penuh pada 2025. Itu berarti, pada 2025 seluruh aktivitas yang disebutkan pada Pasal 13 Ayat 5 UU 7 Tahun 2021 akan dikenakan pajak karbon, baik badan maupun orang pribadi.
Penerapan pajak karbon pada orang pribadi akan berdampak terutama pada konsumen BBM, khususnya transportasi. Konsepnya hampir sama dengan pajak konsumtif (PPN), karena membeli barang yang mengandung karbon (BBM). Konsekuensinya, pengenaan pajak karbon pada orang pribadi akan terealisasi melalui kenaikan harga BBM.
Kondisi pada BBM berbeda dengan listrik. Listrik bukan barang yang mengandung karbon, meskipun dihasilkan dari proses yang menghasilkan karbon (PLTU). Konsekuensi pajak karbonnya tentu berbeda. Pada listrik, beban pajak karbon dapat digeser ke produsen listrik sedangkan beban pajak karbon BBM langsung ke konsumen. Kondisi ini perlu diantisipasi dampaknya terhadap daya beli.
Sebagai bagian dari ekosistem NEK, penerimaan pajak karbon bukanlah tujuan. Karenanya, dana pajak karbon seyogyanya dikembalikan untuk mencapai target penurunan emisi. Pertama, untuk menstimulasi pasar karbon melalui insentif bagi pelaku ekonomi hijau, terutama UMKM. Kedua, dipergunakan bagi pengembangan energi terbarukan. Ketiga, memitigasi dampak emisi karbon pada aspek sosial dan kesehatan.
Terkait dengan pemanfaatan dana pajak karbon, konsep earmarking dapat diberlakukan. Konsep earmarking ini bukan hal baru dan telah diterapkan pada beberapa jenis pajak daerah, seperti pajak kendaraan bermotor dan pajak rokok. Konsep earmarking juga diterapkan pada dana bagi hasil migas untuk pendidikan. Melalui konsep earmarking ini, akan terdapat kepastian jumlah dana pajak karbon yang disisihkan serta peruntukannya sehingga memudahkan eksekusi dan pengendaliannya.