Bisnis.com, JAKARTA - Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) menyampaikan, ada dua pelajaran yang bisa diambil terkait kelangkaan minyak goreng.
Pertama, pemerintah belum cukup serius dalam mengurus minyak goreng.
Wakil Sekretaris Jenderal Perhepi Lely Pelitasari mengatakan, pemerintah perlu menguasai dan memiliki stok karena mengatur regulasi di atas kertas tidaklah cukup.
Dia menjelaskan, pasar minyak goreng merupakan oligopoli karena konsentrasi untuk empat perusahaan terbesar itu di atas 40 persen, yang menunjukkan struktur oligopoli. Dengan struktur ini, menurut Lely perilakunya cenderung pada kolutif sehingga diperlukan pemerintah yang powerfull.
"Bagaimana pemerintah bisa mengatur pasar yang seperti ini dengan satu mekanisme baik kebijakan yang sifatnya tarif atau non tarif. Satu hal yang dilupakan dalam hal ini adalah pemerintah bisa mengatur tapi tidak memiliki barang," katanya dalam webinar, dikutip Minggu (20/3/2022).
Dia juga menyarankan agar pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional.
Baca Juga
"Pelajaran kedua, kenaikan minyak goreng ini [adalah] salah satu efek minyak goreng tidak masuk dalam satu komoditas yang tidak diatur Perpres tentang Badan Pangan Nasional. Mari Indonesia lihat dalam Perpres 66 tahun 2021 yang lalu, hanya 9 bahan pangan pokok di luar minyak goreng," ujar mantan Wakil Ketua Ombudsman itu.
Dalam Perpres 66 tahun 2021 pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional adalah beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas dan cabai.
“Bulan Juli tahun 2021 pertanyaan besar minyak goreng tidak diatur dengan alasan karena minyak goreng itu bukan semata-mata komoditas pangan, tapi juga merupakan komoditas industri lain yang terkait dengan kebijakan energi," ungkapnya.