Bisnis.com, JAKARTA — Organization of the Petroleum Exporting Countries atau OPEC mencatat bahwa sejak berdirinya organisasi mereka, telah terdapat tujuh kali krisis minyak secara global. Terjadinya konflik Rusia dan Ukraina dikhawatirkan menjadi penyebab krisis kedelapan.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. Dia menilai bahwa invasi Rusia ke Ukraina berpotensi menganggu pasokan minyak global, mengingat produksi Negeri Beruang Merah cukup besar.
Menurutnya, dampak konflik Rusia dan Ukraina terhadap minyak global menjadi pembahasan dalam konferensi energi CERAWeek, pertemuan para eksekutif perusahaan minyak. Acara itu diselenggarakan S&P Global di Houston, Amerika Serikat pada Senin (7/3/2022) lalu.
Achmad menjelaskan bahwa dalam pertemuan itu, muncul pembahasan bahwa krisis energi mungkin terjadi karena sanksi dan embargo terhadap Rusia. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC Mohammad Barkindo dalam sambutannya di konferensi CERAWeek.
Menurut Achmad, Barkindo mengatakan bahwa sejak pembentukan OPEC pada 1960 telah terjadi tujuh siklus pasang surut krisis minyak global. Barkindo khawatir bahwa konflik Rusia dan Ukraina dapat menyebabkan 'bencana' atau krisis kedelapan.
"Peringatannya bertepatan dengan titik balik dalam sejarah energi. Sebagai pembalasan atas serangan Rusia di Ukraina, Amerika Serikat melarang impor minyak Rusia langsung pada 8 Maret 2022, dan Inggris mengumumkan akan membuat langkah serupa dalam beberapa bulan mendatang," ujar Achmad pada Senin (14/3/2022).
Baca Juga
Meskipun tidak ada negara Uni Eropa yang turut melakukan embargo terhadap minyak Rusia, pada hari yang sama Komisi Eropa mengumumkan bahwa ketergantungan kawasan itu pada gas dari Rusia mencapai sekitar 40 persen dari total konsumsi bahan bakar fosil. Ketergantungan itu baru bisa lepas paling cepat 2027.
Achmad menjelaskan bahwa Putin menanggapi sanksi tersebut dengan pernyataan bahwa negaranya akan memotong ekspor komoditas. Menurutnya, Rusia memiliki ekspor komoditas yang beraneka ragam, mulai gandum hingga nikel, sehingga perlu menjadi perhatian.
"Ekspor Rusia tersebut dapat mengganggu pasar dunia. Harga minyak mentah brent, yang merupakan patokan internasional, naik di atas US$130 per barel," ujar Achmad.